Kamis 05 Dec 2019 18:30 WIB

Peran Wakaf dalam Membangun Pendidikan Berkualitas

Jadikan wakaf produktif sebagai instrumen pembiayaan pendidikan.

Ilustrasi Wakaf
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Wakaf

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie*

Bersama zakat, infak, dan sedekah, sejatinya wakaf bisa menjadi solusi kebutuhan kehidupan umat Islam. Kita semua menyepakati bahwa pendidikan (bukan sekadar sekolah) adalah kebutuhan dasar setiap muslim. Bahkan, dalam paradigma Islam, kebutuhan akan pendidikan lebih mendasar daripada kebutuhan akan pangan.

Mengapa? Jika umat Islam kesulitan mengkases pangan, itu hanya akan merusak raganya. Namun, jika umat Islam tidak bisa mengakses pendidikan, maka bisa merusak akal dan jiwanya. Mereka akan menjadi manusia yang lemah dan hampa nurani. Dampak kerusakannya bisa lebih besar. 

Selan itu, dalam konteks membangun peradaban dengan sumber daya manusia sebagai unsur terpentingnya, jika umat Islam tidak bisa mengakses atau terlayani dengan pendidikan berkualitas, maka kualitas sumber daya manusianya akan tertinggal. Dampaknya sangat serius. Umat Islam akan tertinggal dalam banyak sektor kehidupan. Umat Islam tidak akan bisa menjadi pemain dan hanya akan menjadi penonton dan objek.

Survey PISA (The Programme for International Student Assessment) pada 2018 yang melakukan survey di 79 negara untuk mengukur kemampuan siswa dalam kompetensi membaca, matematika, dan sains, menunjukkan data yang menyedihkan bagi Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar. Pada kompetensi membaca, Indonesia menempati posisi enam terbawah dari 79 negara yang disurvey. Pada kompetensi matematika menempati peringkat 7 dari bawah dan sains menempati peringkat 9 dari bawah.

Terlepas dari adanya pihak yang masih meragukan validitas dan objektivitas data PISA, hasil survey PISA mestinya membuat kita tersadar bahwa masih banyak sekali anak di Indonesia, yang kemungkinan besarnya muslim, yang belum bisa mengakses pendidikan berkualitas. Layanan pendidikan yang diberikan hanya alakadarnya dan jauh dari berkualitas. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua. 

Lantas, bagaimana solusinya? Mari kita belajar dari sejarah. Nizhamul Mulk, Perdana Mentri Dinasti Saljuk, telah menyadari kebutuhan asasi umat Islam akan pendidikan. Karenanya, pendidikan (berkualitas) tidak boleh mahal. Jika pendidikan mahal, maka tidak semua umat Islam bisa mengakses pendidikan. Semestinya pendidikan bisa didisain gratis untuk semua muslim. Dari sinilah sumber daya manusia berkualitas dihasilkan.

Pertanyaannya, bagaimana melahirkan model pendidikan berkualitas, namun gratis? Jawabannya adalah dengan wakaf. Nizhamul Mulk kemudian mendirikan Madrasah Nizhamiyah sebagai pilot project yang merupakan wakaf dari dirinya. Lalu, dari mana pembiayaannya? Di sinilah pentingnya dibangun dan dikembangkan aset wakaf produktifnya lainnya untuk menopang pembiayaan pendidikan.

Nizhamul Mulk membangun pusat-pusat ekonomi (pasar) untuk membiayai Madrasah Nizhamiyah. Pasar-pasar inipun dibangun dalam skema wakaf. Lalu, diproduktifkan menghasilkan profit (keuntungan). Keuntungan inilah yang kemudian disalurkan kepada Madrasah Nizhamiyah (mauquf ‘alaih).

Setiap kali Nizhamul Mulk membangun Madrasah Nizhamiyah di kota lain diluar Baghdad, bersamaan dengan itu pula dibangun dan dikembangkan pula aset wakaf produktif untuk menopangnya. Sehingga, Madrasah Nizhamiyah bisa berdiri di berbagai kota sebagai pusat pengkaderan sumber daya manusia ungggul dengan memberikan layanan pendidikan berkualitas dan gratis.

Apa yang dilakukan oleh Nizhamul Mulk ini, kemudian menginspirasi Nuruddin Zanky di Suriah untuk menduplikasinya. Lalu, berdirilah Madrasah Nuriyah sebagai lembaga pendidikan gratis dan berdiri pula aset-aset wakaf produktif sebagai penopang pembiayaannya.

Karena itu, pola atau skema subsidi silang dalam lembaga pendidikan sebetulnya tidak dikenal dalam sejarah pendidikan Islam. Karena, bila ditelisik lebih dalam, ketika sebagian siswa membayar mahal untuk bisa membiayai siswa dhuafa di lembaga pendidikan tersebut, seringkali yang terjadi adalah transaksional pendidikan. Siswa berbayar mahal tersebut seringkali memiliki bargaining position (diperlakukan berbeda) oleh pihak lembaga pendidikan. Di sinilah sudah mulai terjadi penyimpangan dalam pendidikan. Bagaimana bisa lembaga pendidikan menjadi berkah?

Lantas, apakah siswa yang orangtuanya kaya tersebut tidak membayar sama sekali alias gratis sama dengan siswa dhuafa? Kembali lagi ke konsep wakaf. Semestinya, para orangtua yang kaya itu diajak berwakaf tunai untuk pengembangan aset wakaf produktif yang dimiliki lembaga pendidikan tersebut. Ini jelas saja berbeda akadnya dengan membayar biaya pendidikan.

Selain anaknya bisa sekolah gratis, mereka juga akan memperoleh pahala yang terus mengalir. Ini jauh akan lebih memotivasi para orangtua kaya untuk berkontribusi bagi pengembangan lembaga pendidikan. Jika akadnya adalah biaya pendidikan, selesai sampai di situ saja. Namun, jika akadnya adalah wakaf tunai untuk pengembangan aset wakaf produktif yang dimiliki lembaga pendidikan tersebut, maka pahalanya akan terus mengalir. Di titik ini, bisa jadi justru nilai aset yang dimiliki lembaga pendidikan bertumbuh secara akseleratif atau bahkan eksponensial. Karena, bisa jadi justru ada orangtua siswa yang berwakaf dalam jumlah besar. Ini berbeda dengan membayar biaya pendidikan yang memang jumlahnya sudah ditentukan.

Karena itu, mari kita ubah cara pandang atau paradigma kita dalam mengelola pendidikan. Jadikan wakaf produktif sebagai instrumen pembiayaan pendidikan. Dengan demikian, lembaga pendidikan akan memiliki marwah dalam mendidik karena tidak “meminta” kepada orangtua siswa dalam bentuk biaya pendidikan (SPP).

Poin penting yang perlu jadi catatan, setiap kali membangun lembaga pendidikan berkualitas dan gratis berbasis wakaf, maka bangun pula aset wakaf produktif lainnya yang bisa dikembangkan secara bisnis, sehingga menghasilkan profit bagi pembiayaan lembaga pendidikan tersebut.

Misalnya, membangun sentra peternakan dan pertanian. Lalu, para orangtua siswa bisa diarahkan untuk berwakaf tunai bagi pengembangan sentra peternakan dan pertanian. Bisa juga aset wakaf produktif berupa mal atau pusat perbelanjaan muslim. Buatlah konsorsium orangtua siswa yang kaya untuk membangun pusat perbelanjaan muslim. Bisa juga membangun aset wakaf berupa pom bensin, restoran, dan aktifitas ekonomi sektor ril lainnya. ZISWAF itu paradigmanya adalah membangun dan mengembangkan ekonomi sektor ril. Karena, di sinilah aktifitas jual beli terjadi, sehingga uang berputar dan beredar di masyarakat.

Jika semua umat Islam, terutama para aghniya-nya, menyadari potensi besar dan dahsyat wakaf, maka kita akan mampu melahirkan instrumen-instrumen layanan kebutuhan mendasar bagi umat, seperti pendidikan berkualitas dan kesehatan gratis. Karena itu, tugas kita bersama untuk mempromosikan wakaf sebagai instrumen penting menghadirkan kehidupan yang sejahtera, berkualitas, dan beradab bagi umat.

*Direktur Dompet Dhuafa Pendidkan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement