Kamis 05 Dec 2019 18:00 WIB

Soal PMA Majelis Taklim, Begini Pandangan ICMI

ICMI menilai di balik PMA Majelis Takim ada maksud baik, namun...

Rep: Fuji E Permana/ Red: Agung Sasongko
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Jimly Asshiddiqie
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Jimly Asshiddiqie

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum ICMI, Prof Jimly Asshiddiqie menilai di balik PMA tentang majelis taklim ini pasti ada maksud baik. Sebaiknya hargai dan hormati menteri agama yang punya niat baik dan semangat baru.

"Peraturan menteri beda dengan Undang-undang (UU), peraturan menteri sifatnya hanya melaksanakan aturan yang lebih tinggi (yakni) Perpres  (Peraturan Presiden), PP (Peraturan Pemerintah) dan UU," kata Prof Jimly kepada Republika, Kamis (5/12).

Baca Juga

Dia menjelaskan mekanisme konstitusional di semua negara demokrasi harus menggunakan UU. Kalau pemerintah mau membuat aturan yang akan mengurangi kebebasan rakyat, menambah beban rakyat dengan kewajiban yang membebani dan mengurangi hak-hak serta kebebasan rakyat.

Tapi, lembaga majelis taklim ini lembaga pendidikan yang sama sekali tidak bersentuhan dengan APBN. Majelis taklim juga tidak ada kaitannya dengan penyelenggaraan tanggung jawab negara di bidang pendidikan. Majelis taklim adalah kreativitas masyarakat.

 

Kalau lembaga pendidikan yang ditanggung jawab pemerintah memang harus diatur oleh UU, PP dan peraturan menteri. Tapi majelis taklim ini wilayahnya di luar negara. "Maka enggak perlu ikut campur menteri mengatur, kalau mau diatur dengan UU, itu ciri negara demokrasi," ujarnya.

Prof Jimly menegaskan, kalau negara mau mengatur, kemudian aturannya mengurangi kebebasan rakyat atau menambah beban rakyat maka harus diatur dengan UU. Bukan diatur dengan peraturan menteri meskipun maksudnya baik.

Ia menerangkan, yang dimaksud aturan berisi norma, larangan, kebolehan dan kewajiban. Maka pasti isinya membebani rakyat dan mengurangi hak rakyat. Aturan seperti ini tidak bisa diatur oleh peraturan menteri tapi harus diatur oleh UU.

Artinya kalau ada aturan yang mengurangi kebebasan rakyat dan aturan yang menambah beban rakyat. Itu harus ditentukan sendiri atas persetujuan rakyat dengan membuat UU melalui wakil-wakil rakyat. "Jadi enggak bisa oleh peraturan menteri, lagi pula yang diatur di luar pemerintah, enggak perlu diatur oleh menteri, kejauhan meskipun niatnya baik," ujar Jimly.

Tapi, dia menjelaskan, kalau membuat pedoman yang sifatnya membimbing majelis taklim bisa. Misalnya membuat buku pedoman majelis taklim yang dikuatkan dengan SK. SK itu yang menjadi baju dari buku pedoman untuk majelis taklim.

"Tapi bukan dalam bentuk peraturan, kalau peraturan enggak boleh, kalau peraturan menteri mengatur aparat kementerian boleh, tapi kalau mengatur ke luar tidak bisa," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement