Senin 02 Dec 2019 04:59 WIB

PMA Majelis Taklim Dinilai tak Sesuai dengan Budaya Lokal

Selama ini majelis taklim berjalan tanpa ada aturan dari pemerintah.

Rep: Erdy Nasrul/ Red: Teguh Firmansyah
Majelis Taklim ibu-ibu Muslimah (ilustrasi).
Foto: Republika/Agung Supri
Majelis Taklim ibu-ibu Muslimah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peraturan Menteri Agama tentang majelis taklim dinilai tidak tepat. Sebab kultur di masyarakat seharusnya tidak memerlukan aturan.

“Itu budaya kita lho.. Lha apa iya budaya harus diatur? Nanti lama-lama nyanyi, shalawatan, tahlilan, diatur semua. Tidak begitu pendekatannya,” ujar Pimpinan Pondok Modern Tazakka Bandar Jawa Tengah KH Anang Rikza Masyhadi, saat dihubungi pada Ahad (1/12).

Baca Juga

Masyarakat Indonesia, kata ia, dikenal gemar berkumpul. Dalam tatap muka, mereka bertukar pemikiran dan gagasan. Perbincangan berlangsung dalam waktu yang lama. Saat ulama datang mendakwahkan Islam, mereka memasukkan pesan dakwah Rasulullah di dalamnya, sehingga perkumpulan tersebut menjadi lebih bermakna. Lalu, jadilah majelis taklim.

Kegiatan semacam itu berlangsung di seluruh penjuru Indonesia.  Setiap ada umat Islam sudah pasti ada majelis taklim meski pun berskala kecil. Di sana mereka bertemu untuk menuntut ilmu agama.

Gus Anang sering mengisi majelis taklim di berbagai tempat dan daerah. Di antaranya adalah kalangan dokter, pegawai, dan banyak lagi.

Suatu ketika dia bertemu dengan pegawai kementerian agama. “Saya sampaikan kepada mereka, apa iya majelis taklim harus diatur? Kalau memang begitu, yo wes aku gak usah bikin majelis taklim,” kata Anang.

Setiap bulan, pihaknya selalu mengundang masyarakat untuk menghadiri majelis taklim di Masjid az-Zaky Kompleks Pondok Modern Tazakka, Bandar, Batang, Jawa Tengah. Para jamaah datang ke sana menikmati santapan pagi. Kemudian dilanjutkan dengan mendengarkan ceramah. “Lha kalau begini saja harus izin, yo wes saya ganti jadi makan-makan saja,” kata alumnus al-Azhar Mesir ini.

Anang mengimbau pemerintah untuk berhati-hati dalam membuat kebijakan. Dasarnya harus riset dan kajian yang mendalam berdasarkan pandangan dan masukan para cendekiawan yang otoritatif. Kemudian berbagai pemangku kepentingan juga ditampung di dalamnya.

Selama ini majelis taklim berjalan tanpa ada aturan dari pemerintah. Tiba-tiba sekarang pemerintah mau masuk kedalamnya dan membuat aturan dengan dalih untuk memberikan bantuan dan menertibkannya. Hal itu dinilainya tidak tepat.

Justru dengan adanya peraturan seperti itu, pihaknya mengkhawatirkan masyarakat menjadi enggan mengurus majelis taklim. Wadah taklim Islam itu akan semakin sepi. Masyarakat menjadi tidak mendapatkan dakwah Islam, dan api keislaman semakin padam di negeri ini.

Gus Anang menjelaskan, untuk memadamkan kebakaran di sebuah tempat, tidak harus mengguyur semua wilayah yang ada di sekitarnya. Tapi cukup semprotkan air ke tempat api berkobar.

“Mau menindak majelis taklim yang bermasalah tidak dengan membuat repot semua majelis taklim. Ini pendekatan yang gegabah. Cari yang bermasalah, tindak dengan bijak, sehingga kearifan lokal ini terjaga keberlangsungannya. Jadi sekali lagi, bukan dengan membuat aturan yang njlimet,” kata Anang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement