REPUBLIKA.CO.ID, Dalam salah satu doanya, Nabi Ibrahim AS pernah memohon kepada Allah agar ia tidak direndahkan di akhirat kelak. Katanya, ''Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.'' (QS as-Syu'ara' [26]: 87-89).
Di akhirat, kemuliaan seseorang, seperti tergambar dalam ayat di atas, tidak ditentukan oleh harta dan kekuasaan yang dimiliki, tetapi lebih ditentukan oleh kekuatan imannya yang dalam ayat ini dinyatakan dengan istilah qalbun salim, yaitu hati yang sehat atau hati yang bersih.
Pada umumnya para ahli tafsir memahami makna kata qalbun salim itu dengan arti salamat al-qalb `an al-`aqaid al-fasidah, yaitu hati yang terhindar dari pemikiran dan pemahaman yang sesat.
Dengan kata lain, qalbun salim dimaknai sebagai hati yang bersih dari unsur-unsur kemusyrikan, baik yang nyata (jaliy) maupun yang laten (khafiy).
Secara sufistik, Imam Ghazali memahami hati yang bersih (qalbun salim) itu sebagai hati yang memperoleh pencerahan dari Allah SWT. Hati yang tercerahkan itu, dalam pandangannya, adalah hati yang bersih dan terbebas dari tiga hal ini.
Pertama, bersih dari dosa-dosa dan maksiat. Seperti diketahui, secara rohani, dosa-dosa dapat merusak jiwa atau hati manusia. Setiap dosa menimbulkan noda dalam hati. Kedua, bersih dari 'berhala' kehidupan.
Berhala itu bukan hanya patung, melainkan apa saja yang disembah dan dipertuhankan oleh manusia selain Allah. Firman Allah, ''Apakah (kekufuran mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim.'' (QS an-Nur [24]: 50).
Ketiga, bersih dan bebas dari 'stempel' (al-khatm). Hati yang bersih bukanlah hati orang yang telah ditutup rapat-rapat (dikunci mati) oleh Allah. Itulah hati orang-orang kafir yang dengan sengaja menolak wujud Tuhan dan menentang ajaran-Nya.
Jadi, hati yang bersih adalah hati yang pemiliknya mampu menjaga kesucian fitrahnya, sehingga ia tidak pernah lupa 'ikatan primordialnya' untuk selalu menuhankan Allah dan menyembah hanya kepada-Nya. Di samping itu, ia selalu condong (hanif) kepada kebenaran, kebaikan, dan keluhuran budi pekerti (akhlaq al-karimah)