Ahad 24 Nov 2019 08:58 WIB
Abdul Somad

Dari Hamka, Gus Dur, UAS: Kerepotan Pro Kontra Halal-Haram

Hamka, Gus Dur, UAS: Pro Kontra Halal-Haram

Permaian judi lotere di masa lalu.
Foto: google.com
Permaian judi lotere di masa lalu.

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

‘’Fiqh itu penuh ikhtilaf!” Kalimat ini pertama kali saya dengar langsung dari mendiang Gus Dur. Bagi saya yang dahulu sempat belajar hukum, atas pernyataan Gus Dur di kantor PBNU, Kramat Raya sebelum di renovasi itu membuat saya terkaget-kaget. Bayangan saya hukum yang serba tegang dan hitam putih runtuh langsung secara total.

Hukum yang dalam bahasa Arabnya disebut 'Fiqh' ternyata penuh perbedaan pendapat. Bahkan dari awal, semenjak para imam empat mahzab masih hidup, --Hambali, Syafii, Maliki, dan Hanafi -- mereka sudah terbiasa soal beda pendapat. Bahkan kisahnya bila ada seseorang yang membandingkan fatwa di antara salah satu fuqoha itu, keempat imam Mahzab itu selalu memandang: ikuti pendapat dia sebab itu mungkin yang benar. Jadi mereka sangat menghormati pendapat fuqoha yang lainnya. Bukan malah mem-bully dengan menyatakan yang tak sejalan sebagai sesaat seperti kelaziman kegeraman masyarakat di media sosial saat ini.

Lalu apakah ini pernah terjadi di Indonesia masa kini. Jawabnya memang begitu. Mari kita pelan-pelan mengurutnya. Agar tak terlalu jauh kita ikuti kisah mulai dari zaman Buya Hamka di akhir 1970-an hingga sekarang.

 

Dalam soal buya Hamka yang kala itu menjabat sebagai Ketua Umum MUI sempat membuat kontroversi soal halam haram. Salah satu contohnya adalah soal kebolehan soal perayaan Natal bersama. Saat itu Buya Hamka mendapat pertanyaan publik jamaahnya di mana banyak Muslim yang menjadi pegawai negeri atau swasta ‘terpaksa’ ikut perayaan hari besar keagamaan ini. Mereka tidak bisa menolak karena keputusan instansi atau lembaga. Lagi pula saat itu juga sudah muncul kekhawatiran soal toleransi yang di masa kini sering dikaitan dengan sikap radikal.

Sebagai ulama kondang dan aktif mengelola pengajian di Masjid Al Azhar Kebayoran Baru banyak jamaahnya yang bertanya soal ini kepadanya. Saat itu Buya Hamka menyatakan melarangnya (haram) karena Muslim dilarang ikut prosesi ibadahnya orang lain. Pendapat ini menasional selain karena Buya Hamka sebagai Ketua Umum MUI, dia juga mengelola media Panji Masyarakat yang saat itu sangat berpengaruh kepada persepsi kaum Muslim Indonesia. Masa itu juga partai Islam (PPP) juga sedang kuat-kuatnya dengan selalu memenangkan pemilu yang wilayah Jakarta dan Aceh.

Tentu saja banyak yang gerah. Saat itu Buya Hamka juga terkesan jengah kepada jargon: Semua agama itu sama saja!. Akibatnya, sikap ini terkesan Buya Hamka bagi rezim Orde Baru saat itu intoleran. Akibatnya, dia tak disukai (kesan ini juga kini ada dalam soal kontroversi perkataan salam dalam pidato pejabat,red).

Akibatnya, dalam sebuah pertemuan dengan pejabat Orde Baru untuk membahas soal agama itu dia dicuekin. Buya Hamka diundang dan datang dalam pertemuan itu, tapi tak diberi kesempatan bicara. Dia hanya menonton saja tanpa diajak  bicara mengenai pendapatnya. Maka dia pun langsung pamit pulang. Sembari ke luar dari pertemuan itulah Buya Hamka  menetapkan hati untuk menanggalkan jabatan Ketua Umum MUI. ''Sekarang saya sudah sudah tak diperlukan lagi,'' kata Buya Hamka.

Pada sisi lain, dengan kisah itu diam-diam Bua Hamka membuktikan dirinya tetap istiqamah (konsisten) saat dahulu memutuskan diri menerima permintaan pemerintah Orde Baru dengan menjadi Ketua Umum MUI. Saat itu pun sebenarnya para petinggi Ormas Islam keberatan bila Hamka menjadi ketua umum MUI. Dalam sebuah pertemuan dengan para petinggi organisasi Islam kala itu, Buya Hamka pun sudah diminta agar menolak jabatan bergengsi itu.

‘’Seperti ilalang, kalau Buya rebah kami pun rebah,’’ begitu tamsil dari M Nastir yang dalam pertemuan itu mewakili atau menjadi juru bicara ormas Islam yang menyarankan agar Buya Hamka menolak jabatan ketua MUI dari rezim Orde Baru.

Di kemudian hari, soal kemandirian sikap inilah yang dibuktikan oleh Buya Hamka ketika mengambil tindakan untuk menanggalkan jabatan sebagai Ketua Umum MUI. Situasi ini persis ketika Buya Hamka bersedia menjadi imam dalam shalat jenazah Soekarno padahal dia dahulu di masa pemerintahnya di penjara cukup lama tanpa pengadilan. Padahal tuduhan dari rezim Soekarno saat itu sangat seram, yakni melakukan makar!

Maka, ketika menyatakan berhenti dari Ketua Umum MUI, Buya Hamka terlihat ingin memperlihatkan sikap kearifan yang sama kepada rezim Orde Baru. Dia menunjukan sikap tersendiri, yakni pendapatnya atau fatwanya tak bisa 'dibeli'.

Dan sering dengan beranjak waktu polemik ini pun berapa lama terus menggantung dan kemudian hilang begitu saja. Masyarakat melupakannya seiring dengan begitu banyak soal dalam kehidupan mereka sehari-hari. Fatwa Hamka memang sekedar menjadi fatwa (pendapat) belum menjadi hukum karena tidak ada dalam undang-undang dan peraturan lainnya. Karena itu masyarakat pun perlahan terlupa. Di benak warga Muslim cuma mencatat sikap konsisten dan kearifan Hamka yang mendapat gelar anugerah doktor dari Universitas Al Azhar di Mesir itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement