Rabu 20 Nov 2019 17:07 WIB

Prinsip Monogami dalam Islam

Tradisi Arab sebelum Islam adalah pernikahan dengan banyak istri tanpa batas.

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)/ Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)
Prinsip Monogami dalam Islam
Prinsip Monogami dalam Islam

Tradisi Arab sebelum Islam adalah pernikahan dengan banyak istri tanpa batas. Perlakukan suami dan keluarga terhadap para istri cenderung kurang manusiawi, banyak perlakukan kekerasan terhadap para istri, baik kekerasan fisik, psikologis, ekonomi, maupun sosial. Islam hadir dengan membatasi poligami bagi yang mampu berbuat adil dan hasanah terhadap para istri.

Meskipun demikian Al-Qur’an memberi isyarat bahwa manusia tidak mampu berbuat adil, karena adil bukan sematamata masalah materi yang bersifat konkrit, tetapi mencakup juga keadilan yang bersifat abstrak.

Dari ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis, pada dasarnya dapat dipahami bahwa pernikahan dalam Islam prinsipnya monogami. Bila dihadapkan pada permasalahan dan kondisi tertentu dimungkinkan poligami, tentu dengan pertimbangan mampu berlaku adil, mendapat izin dari istri dan mempertimbangkan pendapat anak-anak.

Kemampuan berlaku adil dan hasanah ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama. Apabila ada kekhawatiran tidak mampu berbuat adil ketika poligami, maka monogami lebih baik, karena pada dasarnya bersikap adil dan menjauhi kemadaratan bagi keluarga adalah lebih utama untuk menjaga ketakwaan. Dalam hal ini dipahami bahwa paling tidak ada empat ayat yang dijadikan dasar prinsip dimaksud yaitu,

1

Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka. Jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakantindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berbuat adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya [Q.S. an-Nisa’ (4): 2-3].

2

Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata [Q.S. an-Nisa’ (4): 20].

3

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [Q.S. an-Nisa’ (4): 129].

Al-Qur’an membicarakan poligami di antaranya ada dalam surat an-Nisa’(4): 2, 3 dan 129. Ayat 2 dan 3 berbicara tentang kondisi yang melatarbelakangi pengaturan poligami, syarat adil dan batas maksimal poligami dengan empat istri. Dan ayat 129 tentang ketidakmungkinan seorang suami berlaku adil terhadap istri-istrinya dalam poligami.

Surah an-Nisa’(4): 3 menghubungkan pengaturan poligami dengan ketidakadilan terhadap anak yatim. Pemahaman terhadap persoalan ini bisa dilakukan dengan merekonstruksi sejarah ketika ayat itu diturunkan pada tahun ke-4 H. Pada waktu itu Islam baru saja mengalami kekalahan besar dalam Perang Uhud yang menelan korban 70 orang pria dewasa sebagai syuhada. Jumlah itu sangat besar untuk ukuran umat ketika itu yang jumlah kaum prianya hanya 700 orang.

Ketika itu sebagaimana masa-masa sebelum dan sesudahnya, pria menjadi tumpuan keluarga. Dengan gugurnya 10 % pria Muslim itu maka banyak perempuan menjadi janda dan banyak anak menjadi yatim dalam keluarga-keluarga yang kehilangan penopang ekonominya. Dengan kata lain, di Madinah pusat pemerintahan Islam yang baru tumbuh ketika itu terjadi booming janda dan anak yatim yang potensial menjadi terlantar.

Pada masa ketika struktur sosial masyarakat Arab masih bersifat kesukuan, hal itu tidak menjadi persoalan karena kepala suku yang memiliki kewajiban memberikan jaminan sosial kepada warganya akan memberi santunan kepada mereka. Namun keadaannya kemudian berubah seiring dengan berkembangnya Hijaz menjadi rute perdagangan dari Yaman ke Syiria, yang mendorong masyarakat Arab perkotaan berubah menjadi masyarakat perdagangan dengan segala konsekuensinya, seperti individualisme, eksploitasi terhadap yang lemah dan persaingan.

Islam tidak memutar jarum jam sejarah mereka kembali ke masa purba, tapi memperbaiki keadaan yang ada dengan menekankan persamaan, persaudaraan dan keadilan. Karena itu ketika terjadi krisis sosial akibat banyaknya orang yang gugur di medan perang itu, Nabi tidak berperan sebagai kepala suku yang menyantuni janda dan anak-anak yatim yang mereka tinggalkan, tapi sebagai kepala negara yang harus menjamin kesejahteraan warganya. Karena kas negara terbatas atau bahkan tidak ada, maka warganya yang memiliki kemampuan secara mental dan material dihimbau untuk menanggulangi krisis itu dengan melakukan poligami sebagai katup pengaman sosial.

Dari paparan sekilas ini bisa diketahui bahwa poligami dalam Islam sebenarnya menjadi aturan yang berlaku ketika terjadi darurat sosial, tidak dalam situasi normal dan “darurat” individual. Dan yang perlu dicatat adalah bahwa meskipun menjadi aturan darurat, poligami ketika itu tetap diberi persyaratan ketat, seperti yang disinggung di atas. Oleh karena itu pengaturan dan pelaksanaan poligami di kalangan umat seharusnya mengacu pada idealisme Al-Qur’an itu.

Selain ayat-ayat Al-Qur’an, beberapa hadis Nabi SAW juga mengisyaratkan adanya prinsip monogami. Hadis-hadis dimaksud antara lain,

4

Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Ghailan bin Salamah masuk Islam beserta 10 orang istrinya yang ia nikahi pada masa jahiliyyah. Lalu Nabi SAW memerintahkan kepadanya untuk memilih 4 orang dari mereka [H.R. ad-Daruqutni].

5

Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Barangsiapa yang memiliki dua istri dan ia lebih condong kepada salah satunya maka pada hari kiamat ia muncul dengan bahu miring sebelah [H.R. Ibnu Majah].

Hadis-hadis di atas menjelaskan bahwa saat itu poligami dipraktikkan oleh masyarakat Arab sebelum datangnya Islam dengan bilangan istri yang tidak terbatas. Karena itu, dengan hadis di atas dapat dipahami bahwa Islam tidak menganjurkan poligami, tetapi membatasi poligami yang tidak terbatas. Islam memberikan batas maksimal poligami hanya dengan empat (4) istri.

Hadis Ibnu Majah dari Abu Hurairah bukan anjuran tetapi peringatan terhadap laki-laki yang melakukan poligami harus mampu berbuat adil. Rasul SAW menyampaikan sindiran pada suami yang tidak mampu berbuat adil dengan mengatakan bahwa kelak di akhirat bahunya nampak miring.

Walaupun poligami diizinkan, tapi realitasnya ternyata menyisakan penderitaan bagi istri, orang tua dan anak. Hal ini terungkap dalam hadis Nabi SAW riwayat Imam al-Bukhar³, Muslim, at-Turmudzi dan Ibnu Majah dari Miswar bin Makhramah yang mengangkat peristiwa yang dialami keluarga putri Nabi SAW (Fatimah) ketika Ali akan melakukan poligami.

6

Miswar bin Makhramah berceritera bahwa ia mendengar Rasulullah SAW berdiri di atas mimbar seraya berkata, “Sesungguhnya keluarga Hisyam bin al-Mughirah meminta izinku untuk menikahkan putrinya dengan Ali bin Abi Thalib. Aku tidak izinkan. Aku tidak izinkan. Aku tidak izinkan. Kecuali jika Ali bin Abi Thalib lebih memilih menceraikan putriku dan menikah dengan putrinya (Keluarga Hisyam). Sesungguhnya putriku adalah darah dagingku, menyusahkannya berarti menyusahkanku dan menyakitinya berarti menyakitiku” [H.R. al-Bukhari, Muslim, at-Turmudzi dan Ibnu Majah].

Hadits dimaksud mempertegas prinsip monogami dalam pernikahan. Nabi SAW melarang Ali bin Abi Thalib, menantu sekaligus sahabat terdekatnya untuk melakukan poligami, bahkan beliau meminta Ali memilih menceraikan Fatimah putri Nabi jika tetap menikahi gadis tersebut. Alasan yang diajukan Rasulullah adalah beliau tidak rela andaikan poligami itu akan menyusahkan dan menyakiti putri tercintanya Fatimah, yang berarti menyakiti perasaan Rasulullah SAW sebagai ayahnya.

Jika kedua kelompok hadis di atas digabungkan, dapat dipahami bahwa hadis-hadis tentang poligami tidak menyebutkan bahwa poligami itu perbuatan sunah atau yang dianjurkan. Poligami dalam Islam merupakan ketentuan pembatasan yang pernah terjadi sebelumnya (yang tidak terbatas). Poligami dilakukan dengan memenuhi ketentuan adil. Dalam pelaksanaannya ketetapan terwujudnya keadilan diputuskan oleh Pengadilan Agama.

Allah SWT juga menyatakan bahwa manusia tidak mampu berlaku adil. Namun demikian poligami dapat dicegah oleh semua pihak, baik keluarga istri maupun suami, manakala diduga kuat pernikahan itu dapat menyusahkan istri pertama dan keluarganya.

Untuk mewujudkan keluarga sakinah, poligami tidak menjadi pertimbangan utama ketika menghadapi permasalahan antara suami-istri. Semua anggota keluarga hendaklah berusaha menjauhkan peluang yang dapat mengantarkan adanya kemungkinan poligami dan mewujudkan prinsip monogami dalam perkawinannya.

Tulisan ini disarikan dari buku Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah terbitan Suara Muhammadiyah

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement