Selasa 19 Nov 2019 22:47 WIB

Penjelasan Ilmuwan Barat Soal Munculnya Penyakit Spiritual

Penyakit spiritual bisa menjangkiti semua orang.

Zikir dan munajat kepada Allah (ilustrasi).
Foto: alifmusic.net
Zikir dan munajat kepada Allah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Dewasa ini, tanpa disadari di antara kita telah banyak terjangkit penyakit spiritual (spiritual illness). Inilah suatu penyakit yang membuat kita tidak tahu lagi bagaimana seharusnya menjalani kehidupan di dunia ini secara lebih bermakna.

"The will to meaning," kata psikolog terkemuka, Viktor Frankl. Kehendak hidup bermakna ini sekarang menjadi visi hidup alternatif di tengah meluasnya berbagai penyakit spiritual yang menjangkiti kita dewasa ini. Tanpa hidup bermakna, hidup kita akan mengalami kegelisahan spiritual, problem spiritual, dan bahkan terjangkit penyakit spiritual.

Baca Juga

Inilah yang kemudian menjadi sorotan ahli psikologi-spiritual. Psikolog terkemuka Carl Gustav Jung, misalnya, menyebut penyakit spiritual sebagai penyakit eksistensial (existential illness), dimana eksistensi diri kita mengalami penyakit alienasi (keterasingan diri), baik dari diri sendiri, lingkungan sosial, maupun dari Tuhannya.

Jung menaruh perhatian tinggi terhadap penyakit eksistensial ini, dan berkomentar bahwanya beberapa psikoneurosis pada akhirnya harus dipahami sebagai "jiwa yang menderita" (a suffering soul) yang belum menemukan maknanya

Kondisi psikologis seperti itu dirumuskan oleh Danah Zohar dan Ian Marshall dalam SQ, Spiritual Intelligence, The Ultimate Intelligence, (Blomsbury, 2000, h. 169) sebagai bentuk keterputusan diri, baik dari diri sendiri (cut off from myself), dari orang lain sekelilingnya (from others around me), dan bahkan dari Tuhannya (from God). 

Tafsir "keterputusan diri" ini, oleh Kabir Helminski, salah seorang direktur The Threshold Society, lembaga nonprofit yang intens mengkaji segi pengetahuan dan relasinya dengan tradisi spiritualitas Islam, lebih difokuskan pada "diri" sebagai "the kingdom of the I" ("kerajaan diri sebagai the body", yang kalau membentuk kesadaran, maka kesadaran yang muncul adalah the body consciousness), untuk mengkontraskan sedemikian rupa dengan "the kingdom of the heart" ("kerajaan hati" sebagai the soul, yang kalau membentuk kesadaran, maka kesadaran yang muncul adalah the soul consciousness).

Nah, penyakit spiritual berarti suatu penyakit yang mengakibatkan kontraksi eksistensial dan bahkan keterputusan antara "the kingdom of the I" dengan "the kingdom of the heart". Dalam literatur lain, misalnya konsultan medis Irlandia Dr Michael Kearney, menamakan penyakit spiritual dan penyakit eksistensial diri kita sebagai "penyakit jiwa" (soul pain), yang menggambarkan segi pengalaman diri yang terfragmentasi, teralienasi, dan sarat ketidakbermaknaan hidup. 

Inilah kondisi psikologis-spiritual, di mana diri kita mengalami proses keterbelahan diri (split personality), atau yang populer dalam psikologi keagamaan disebut-sebut sebagai "diri yang terbelah" (a divided self).

Ungkapan tragis juga dikemukakan psikolog Christina dan Stanislav Grof melalui artikelnya "The Stormy Search for the Self", dalam Lucinda Vardey (ed.), God in All Worlds: An Anthology of Contemporary Spiritual Writing, (New York: Vintage Books, Oktober 1996, h. 46), dengan emergensi spiritual" (spiritual emergency).

Suatu keadaan darurat secara spiritual. Masih banyak khazanah lain untuk menggambarkan penyakit psikologis-eksistensial-spiritual dalam diri kita dewasa ini, seperti keterasingan spiritual (spiritual alienation), krisis spiritual (spiritual crises), dan patologi spiritual (spiritual pathology). Semua itu pada intinya menunjukkan pada terjangkitnya kita akan penyakit spiritual yang sudah akut.

Penyakit spiritual ini membuat kita mengalami proses fragmentasi secara psikologis-spiritual, khususnya terfragmentasi dari pusat-diri (self-centre), yang kemudian disebutnya dengan berbagai istilah: "muak" (nausea), alienasi (alienation), dan iman buruk (bad faith)" menurut filsuf eksistensialis Jean Paul Sartre, "penyakit sampai kematian" (sickness unto death) menurut Kierkegaard, "kejatuhan" (fallenness) menurut Heidegger, "orang luar" (outsider) menurut Albert Camus, dan "kesadaran palsu kelas borjuis" (false consciousness of the bourgeoisie) menurut Karl Marx. Semua itu secara umum menggambarkan model keterputusan diri, baik dari diri sendiri maupun orang lain (lih. Zohar-Marshall, h. 169).

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement