Selasa 05 Nov 2019 05:00 WIB

Musuh Islam Menurut Syekh Ghazali, Siapa Mereka?

Syekh Ghazali mengingatkan bahaya musuh Islam.

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Syekh Muhammad al-Ghazali
Foto: tangkapan layar google
Syekh Muhammad al-Ghazali

REPUBLIKA.CO.ID, Salah seorang tokoh kebangkitan Islam moderat pada abad ke-20 ialah Syekh Muhammad al-Ghazali. Penulis lebih dari 94 buku itu lahir di Desa Nakla al-‘Inab, Buhairah, Mesir, pada 22 September 1917. Anak pertama dari tujuh bersaudara itu dinamakan demikian karena orang tuanya berharap sang buah hati mengikuti jejak Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali (1058-1111). Sejarah membuktikan, harapan ini akhirnya terwujud berkat izin Allah SWT.

Di mata muridnya, Syekh Yusuf al-Qardhawi memaparkan bahwa gurunya, Syekh Muhammad al-Ghazali, telah membaktikan hidup demi Islam. Dia berpandangan bahwa agama ini menghadapi dua musuh, yakni dari luar dan dalam. Kekuatan-kekuatan non-Muslim bersatu padu untuk melemahkan jalan dakwah. Mereka antara lain golongan zionis, ekstremis Kristen, dan komunis. Kelompok-kelompok yang paling berbahaya justru datang dari internal umat Islam.

Baca Juga

Mereka tidak mengetahui hakikat Islam, tetapi mengklaim diri sebagai ahli agama. Mereka diistilahkannya sebagai “kelompok pemecah-belah” karena gemar merusak persatuan umat Islam dari dalam dengan mengungkit hal-hal sepele, semisal khilafiyah fikih, seakan-akan itulah persoalan yang paling penting. Mereka sesungguhnya menjadi penghambat utama kebangkitan Islam.

Sikap kritis Syekh al-Ghazali juga menyasar kalangan ulama yang menyeberang dari bidang keahliannya. Dia mencontohkan, “Banyak ahli hadis yang berubah menjadi ahli fikih, meskipun sebenarnya mereka kurang ahli dibidang itu. Mereka berusaha menjadi politikus yang ingin mengubah masyarakat dan negara seperti yang mereka dapatkan dari riwayat-riwayat yang mereka miliki.”

Syekh Yusuf menggambarkan gurunya itu bagaikan ombak besar yang tak terbendung kala tampil mendebat lawan-lawannya. Dia tidak pernah ragu untuk memisahkan kebenaran dari kebatilan. Tidak jarang dia mengecam para penceramah yang lantang bersuara tetapi tidak mengetahui prinsip-prinsip umum Islam, seperti dalam soal kaidah tata negara dan ekonomi syariah. Ketegasannya juga terasa di karya-karyanya.

Syekh al-Ghazali, menurut muridnya itu, seorang tentara yang selalu siap sedia. Pena di tangannya seakan-akan berubah menjadi pedang yang tajam memberantas kebodohan. Dialah pemikir bebas yang selalu mencontohkan keseimbangan (al-mizan), yakni antara akal dan sumber agama (naql). Tidak pernah dirinya merasa rendah di hadapan manusia, sebab meyakini sepenuh hati hanya Allah satu-satunya penguasa. “Saya tidak suka menguasai atau dikuasai orang,” katanya suatu ketika, kenang Syekh Yusuf.

Syekh al-Ghazali selalu mengajarkan kepada murid-muridnya untuk jernih berpikir. Dengan begitu, seseorang akan mencapai situasi moderat sehingga tidak menolak sumber-sumber pengetahuan sekalipun berasal dari kaum non-Muslim. Maka dari itu, dia tidak menolak gagasan tentang kemajuan dan modernisme. Malahan, diajaknya generasi penerus untuk berpacu mengejar ketertinggalan dari orang-orang asing tanpa meninggalkan jati diri keislaman. “Mengapa kalian tidak menuntut (ilmu) kemajuan sambil tetap menjadi Islam?” katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement