REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Keajaiban dunia. Begitulah penulis Barat, Stanley Lane-Poole, menjuluki Cordoba pada era Tamadun Islam. “Cordoba memiliki seluruh keindahan. Ornamen-ornamennya begitu indah dipandang dan mengagumkan penglihatan,” komentar Lane-Poole.
Secara geografis, Cordoba terletak di Provinsi Andalusia, sebelah barat Spanyol. Kota yang bertengger di sepanjang tebing Sungai Guadalquivir ini pernah dikuasai oleh penguasa Romawi bernama Lotheo dan menjadikannya ibu kota negara Meridional Spanyol pada 169 SM. Julius Cesar, panglima militer Romawi juga sempat menaklukkan kota ini pada 45 M.
Lima tahun kemudian, Cordoba berada dalam genggaman Bizantium di bawah komando Raja Goth Barat. Sejarah Cordoba memasuki babak baru ketika Islam datang ke sana pada 711 M atau 93 H. Kala itu, pasukan Islam di bawah komando Tariq bin Ziad membawa pesan dakwah dan berhasil menaklukkan Spanyol.
Di bawah kekhalifahan Umayyah, Cordoba menjadi salah satu kota paling indah di dunia. Kemewahan dan budaya Cordoba tak tertandingi di seluruh Eropa Barat. Pada puncak kejayaannya, Cordoba berpenduduk setengah juta orang yang menghuni 113 ribu rumah yang tersebar di 21 kawasan subur.
Ada pula 1.600 masjid, 900 pemandian umum dan lebih dari 80 ribu toko. Sementara, pada masa kekhalifahan al-Hakam II, salah satu khalifah paling cendekia, Cordoba menjadi salah kota paling berbudaya di Eropa. Nah, sekarang mari kita telusuri jejak-jejak masa keemasan Cordoba melalui tiga peninggalannya.
Masjid Agung Cordoba
Orang Spanyol masa kini menyebutnya Le Mezquita. Pada 1994, bangunan megah nan indah ini didaulat organisasi pendidikan, sains dan kebudayaan PBB (UNESCO) sebagai tempat yang sangat penting dan bersejarah di dunia. Bangunan ini merupakan saksi sejarah sekaligus peninggalan masa keemasan Cordoba pada era kejayaan Islam.
Masjid Cordoba mulai dirancang pada 785 M. Dua tahun kemudian, Khalifah Abdurrahman I mewujudkan rancangan itu menjadi masjid. Awalnya, bangunan masjid itu hanya berukuran 70 meter persegi. Para penguasa Umayyah berikutnya memperluas dan memperindah masjid ini sehingga terciptalah bangunan yang menakjubkan.
Ensiklopedia Seni dan Arsitektur Islam menulis, bagian dalam Masjid Agung Cordoba merupakan sebuah aula hipostilus berlangit-langit tinggi, menampilkan rangkaian rapat tiang berbusur. Pada 962 M, Khalifah al Hakam II menambahkan area mihrab baru berupa ruang kecil berkubah yang didekorasi dengan mozaik kaca emas dan panel-panel stuko berukir. Banyak aspek dari Masjid Agung Cordoba tampaknya sengaja dibuat untuk membangkitkan kenangan akan arsitektur Damaskus Umayyah.
Universitas Cordoba
Ketika Khalifah al-Hakam II berkuasa, Cordoba tampil sebagai kota yang sangat berbudaya. Perpustakaan dan lembaga pendidikan umum dibangun. Pada masa pemerintahannya pula, Universitas Cordoba diperluas dan ditingkatkan peranannya sehingga menjadi universitas terbaik dan terbesar di dunia saat itu. Universitas ini berhasil menandingi Universitas al-Azhar di Kairo dan Universitas Nizamiyah di Baghdad. Tak heran, banyak pelajar dari berbagai wilayah di Eropa, Afrika, dan Asia, baik Muslim maupun non-Muslim, datang ke Andalusia, khususnya Cordoba, untuk menimba ilmu.
Dari universitas ini pula, Barat menyerap ilmu pengetahuan. Salah satu mahasiswa Kristen yang menuntut ilmu di Andalusia adalah Gerbert d'Aurillac (945-1003), yang kemudian menjadi Paus Sylvester II.
Al Hakam II sendiri adalah seorang cendekiawan yang tekun menimba ilmu. Menurut para sejarawan, tak ada seorang pun raja pada masa itu yang sebanding dengannya dalam bidang keilmuan. Ia gemar membaca dan mengoleksi buku yang berasal dari pusat-pusat ilmu dunia seperti Baghdad, Damaskus, dan Kairo.
Al-Madinah az-Zahra
Inilah kota-istana yang menakjubkan. Al -Madinah az-Zahra (dinamakan juga Kota az-Zahra) adalah kota yang dibangun oleh Khalifah Abdur Rahman III. Terletak sekitar lima kilometer dari Cordoba, kota ini dibuat dengan mencontoh istana Umayyah lama di Damaskus sebagai modelnya. Kota ini berperan sebagai simbol keterikatan antara Khalifah Abdur Rahman III dan akarnya di Suriah.
Pembangunan kota-istana ini dimulai pada 936 M dan berlanjut selama 25 tahun. Dibangun dalam tiga teras besar di lereng bukit, dengan istana khalifah di titik tertingginya, kota ini terlihat dari jarak bermil-mil. Pada 947 M, pemerintah pindah ke sana dari Cordoba.
Pada masa jayanya, Kota az-Zahra konon berpenduduk 12 ribu orang. Kota ini merupakan sebuah kompleks luas dan mewah yang terdiri atas bangunan-bangunan indah, taman-taman beirigasi, istana sang khalifah, aula-aula megah untuk menerima tamu negara, masjid-masjid, percetakan uang negara, apotek, barak, pabrik tekstil istana, dan sebuah wilayah urban besar di teras terendah.
Sayangnya, kota luar biasa ini hanya bertahan 50 tahun. Kota ini diporak-porandakan dan dijarah saat pecah perang saudara (1010-1013). Perang inilah yang menyebabkan Kekhalifahan Cordoba berakhir dan menandai awal periode taifa (kerajaan kecil).