REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim, Najib Hamid, menanggapi imbauan dari MUI Jatim agar para pejabat tak menyampaikan salam lintas agama saat menyampaikan sambutan di acara resmi. Menurutnya, jika hanya seremonial biasa, tidak masalah pejabat publik menyampaikan salam lintas agama.
Asalkan, ia mengatakan, salam lintas agama hanya sekedar salam sapa, dan tidak berkaitan dengan aqidah. "Ya kalau sepanjang seremonial biasa ya nggak apa-apa. Memang gak nyaman buat orang-orang tertentu. Tapi anggap itu sekedar salam menyapa saja. Tapi ndak ada hubungannya dengan aqidah," ujar Najid dikonfirmasi Senin (11/11).
Najib menegaskan, selama salam yang diucapkan hanya sekadar menyapa, dan mendoakan untuk keselamatan tidak akan sampai merusak aqidah. Menurutnya, hal yang lebih penting adalah tidak sampai mewajibkan salam lintas agama, atau bahkan menyebutnya dengan salam nusantara.
"Makanya kalau mudah-mudahan kalian selamat itu kan nggak apa-apa, nggak sampai ngerusak aqidah. Tapi sifatnya juga nggak boleh mewajibkan harus mengucapkan salam nusantara seperti itu. Menurut saya tidak harus jadi kewajiban atau keharusan tapi andaikan ada yang menyampaikan itu, ya, nggak apa apa," ujar Najib.
Najib menyatakan, dalam Islam telah diatur tata cara mengucapkan dan menjawab salam dengan orang-orang non Muslim. Misal, kalau ada beda agama yang mengucap salam, orang Muslim menjawabnya Waalaiakum.
"Artinya itu sebatas waalaiakum gausah diteruskan waalaikumsalam. Itu menunjukkan persahabatan hablum minannas," kata dia.
Imbauan MUI Jatim ini terlampir dalam surat bernomor 110/MUI/JTM/2019 yang diteken Ketua MUI Jatim KH Abdusshomad Buchori pada Jumat, 8 November 2019. Ada delapan poin dalam surat imbauan itu, yakni meminta para umat Muslim membaca salam sesuai dengan agamanya, tidak memakai salam agama agama dalam sambutan.