Senin 28 Oct 2019 19:00 WIB

Komunitas Muslim Auckland Apresiasi Respons Cepat Polisi

Komunitas Muslim Auckland menilai respons cepat polisi dibutuhkan.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Agung Sasongko
Hari solidaritas hijab di Dunedin, Selandia Baru untuk membuat muslimah nyaman usai penembakan di masjid Christchurch, Kamis (21/3).
Foto: RNZ/Tess Brunton
Hari solidaritas hijab di Dunedin, Selandia Baru untuk membuat muslimah nyaman usai penembakan di masjid Christchurch, Kamis (21/3).

REPUBLIKA.CO.ID, AUCKLAND -- Pengelola Masjid At-Taqwa di Manukau di Auckland Selatan, Selandia Baru, Mohammed Afiz mengungkapkan bahwa ia lebih suka jika polisi dalam keadaan siap dan dipersenjatai setelah insiden serangan teror yang pernah terjadi di Masjid di Christchurch.

Dia mendukung kebijakan agar polisi memiliki tim respon yang dipersenjatai. Menurutnya, keadaan sekarang yang memperlihatkan sejumlah serangan terhadap masjid berbeda dengan dua dekade lalu, di mana senjata tidak diperlukan. 

Dalam tiga hari, unit-unit respon polisi bersenjata memang akan dikerahkan di tiga distrik, di antaranya Auckland Selatan, Christchurch dan Waikato. Percontohan enam-bulan itu diumumkan oleh Komisioner Polisi Mike Bush Jumat lalu. Program ini dimulai pada Senin (28/10) dan merupakan respon terhadap apa yang disebut Bush sebagai "operasi lingkungan" yang berubah sejak penembakan di masjid. 

Dalam pernyataannya, Bush mengutip adanya 'pertumbuhan kejahatan yang terorganisir' dan dampak pelanggaran yang didorong oleh Metamfetamin (obat-obatan terlarang) sebagai faktor yang membenarkan adanya tim baru yang dipersenjatai itu. 

Meskipun ada kekhawatiran dari para pemimpin di komunitas Auckland Selatan, namun Afiz mengatakan dukungan untuk polisi bersenjata itu tersebar luas di kalangan komunitas Islam. Terlebih lagi dengan adanya insiden penembakan terbaru di Jerman.

"Polisi ada di sini untuk membela semua orang, tetapi jika mereka bahkan tidak bisa melindungi diri mereka sendiri, bagaimana mereka bisa membela kita?" kata Afiz, dilansir di Stuff, Senin (28/10).

Afiz mengakui bahwa pengenalan polisi bersenjata itu bagaimanapun bisa menimbulkan kekhawatiran bagi sejumlah pihak. Namun, ia percaya bahwa itu adalah cara terbaik untuk melindungi masyarakat. 

Dalam pernyataan sebelumnya, Menteri Kepolisian Stuart Nash mengatakan, bahwa petugas bersenjata itu akan diawasi ketat. Namun, proyek baru itu tidak berarti bahwa polsisi akan secara rutin bersenjata. 

"Tiga area telah dipilih untuk percobaan karena insiden kejahatan yang melibatkan para pelaku bersenjata," kata Nash.

Sementara itu, penyelidik swasta dan juga mantan detektif Tim McKinnel mengatakan bahwa polisi bersenjata memang diperlukan dalam keadaan darurat. Namun, ia tidak percaya tim respon yang keliling itu diakui komunitas. Ia juga mempertanyakan pembenaran untuk pengenalan tim bersenjata tersebut. 

"Anda melihat serangan-serangan tipe teror global dan mereka digunakan untuk memperkenalkan hukum dan proses kejam baru, saya pikir kita harus lebih baik dari itu," ujarnya.

Ia mengatakan, warga mungkin harus menerima keberadaan mereka jika ada kasus yang menunjukkan mereka memerlukan hal-hal semacam itu. Namun, menurutnya, argumen yang diajukan, khususnya sekitar 15 Maret, sangat lemah mengingat cara mereka memuji diri mereka sendiri dan bagaimana polisi merespon. 

Ia mengatakan, tidak banyak informasi tersedia tentang kerangka taktis dan agar masyarakat puas. Menurutnya, bukti perlu disediakan sebagai pembenaran adanya tim semacam itu. 

"Jika patroli keliling ini akan digunakan di komunitas kita, apakah mereka akan mengukur siapa yang akan dipantau dan di mana? Selain penuntutan polisi dan catatan penjara, kita tidak tahu seperti apa interaksi itu," tambahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement