REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hasan Basri Tanjung
Dalam sebuah riwayat, Abdullah Ibnu Abbas RA bercerita tentang cara Rasulullah SAW mendidiknya disaat belia. Ia diajak naik unta, lalu diberikan petuah berharga dalam suasana yang menyenangkan dan nyaman. Baginda SAW menyapa hangat, "Ya ghulam (wahai anak muda), aku ingin memberikan beberapa nasihat kepadamu. Peliharalah Allah, niscaya Dia akan memeliharamu. Peliharalah Allah, niscaya engkau akan menjumpai-Nya di hadapanmu. Jika kau meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah.
Ketahuilah, andai kata seluruh umat manusia bersepakat untuk memberi sesuatu padamu, niscaya mereka tidak akan bisa memberinya, kecuali apa yang telah Allah takdirkan untukmu. Dan, andai kata mereka bersatu padu untuk menimpakan suatu bahaya, niscaya mereka tidak akan dapat membahayakanmu, kecuali apa yang telah ditakdirkan Allah bagimu. Qalam telah diangkat dan lembaran catatan telah mengering" (HR at-Tirmidzi).
Pakar pendidikan Islam, Jamal Abdur Rahman dalam buku Tahapan Mendidik Anak, Teladan Rasulullah SAW mengatakan, anak berhak berteman dengan orang dewasa agar ia memperoleh pelajaran cara mematangkan jiwa, menyerap ilmu pengetahuan dan hikmah. Alangkah baiknya jika orang tua mengajak anak bermain demi menyenangkan hatinya. Seperti Nabi SAW, rela merangkak untuk cucunya Hasan dan Husein yang menaiki punggungnya. Lalu berkata, "ni'mal jamalu jamalukuma, wa ni'mal 'adlaani antumaa". Artinya, sebaik-baik unta adalah unta kalian berdua, dan sebaik-baik penyeimbang adalah kalian berdua. (HR ath- Thabrani).
Sejatinya, mendidik itu tidak bisa mendadak karena setiap yang mendadak tidak mendidik. Mendidik anak ibarat menanam sebuah pohon yang butuh proses dan banyak aspek saling berkaitan. (QS.14:24-25). Setidaknya, ada enam faktor yang memengaruhi pertumbuhan sebuah pohon menjadi baik (syajaratun thoyyibah), yakni ketulusan sang penanam, bibit yang berkualitas, tanah yang subur, pengawasan yang intensif, pupuk dan air yang cukup, serta iklim yang kondusif.
Kini, di era digital sebagian orang tua menjadikan gadget sebagai teman bermain anak-anaknya. Awalnya, mereka belajar cara menggunakan dan kemudian asyik dan ketagihan. Ketika orang tua membatasi atau melarang, anak-anak pun merengek, menangis, dan menjerit. Ada orang tua yang tak tega atau tidak mau ambil pusing, lalu membiarkan dan menganggapnya sebagai tanda kasih sayang. Padahal, pola asuh seperti itu salah dan membahayakan masa depan anaknya.
Faktanya, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat pekan lalu mengabarkan, ratusan anak-anak harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa karena kecanduan gadget. Begitu pula di Rumah Sakit Jiwa Marzuki Mahdi Bogor yang merawat puluhan anak dalam kasus yang sama. Kondisi fisik dan psikis mereka mengalami gangguan serius sehingga harus diobati segera dan intensif. Sekali lagi, orang tua mestinya menyadari pola asuh dan pendidikan yang salah akan berakibat fatal bagi pertumbuhan anak. Sebab itulah, Allah SWT. mengingatkan agar orang tua (ayah) menjaga keluarganya agar tidak terjerumus dalam sengsara dunia dan akhirat. (QS 66: 6).
Akhirnya, kita tidak perlu menyalahkan kemajuan zaman karena tidak akan memperbaiki keadaan. Namun, tanggung jawab orang tua untuk memperkuat pendidikan adab (karakter) dalam keluarga yang mesti ditingkatkan. Tiada lain, kecuali agar anak-anak kita tidak terhempas lagi dari pelukan. Allahu a'lam bish-shawab.