REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nama Dhayfa Khatun tak lepas dari beragam kegiatan amal. Ia ringan tangan untuk menyantuni fakir miskin. Kegiatan keilmuan juga menarik minatnya untuk ikut ambil bagian. Dengan kedudukannya di panggung kekuasaan, Khatun memanfaatkannya untuk kepentingan publik. Ia mendorong kemajuan masyarakat dan keilmuan.
Khatun adalah istri Gubernur Allepo, Syuriah, Al-Zahir Ghazi. Suaminya berkuasa saat Dinasti Ayyubiyah memegang tampuk kepemimpinan. Pada masa selanjutnya, Dhayfa dikenal sebagai ratu. Ia berkuasa selama enam tahun. Namun, banyak prestasi yang ia torehkan.
Ia menghapus semua ketidakadilan dan pajak yang memberatkan di seluruh wilayah Aleppo. Salim TS Al-Hassani, Ketua Foundation for Science, Technology, and Civilasation, Manchester, Inggris, dalam tulisannya Women's Contribution to Classical Islamic Civilisation: Science, Medicine and Politics, memuji langkah Khatun.
Menurut dia, berbekal wawasan keilmuan dan kekayaan yang dimilikinya, Dhayfa banyak memberikan wakaf. Dana wakaf tersebut disalurkan untuk mengoperasikan dan mempertahankan lembaga-lembaga yang ia dirikan. Selain memainkan peran besar dalam bidang politik dan sosial, ia menjadi sosok terkenal dalam memajukan pendidikan.
Dia mendorong kemajuan dunia pendidikan di Aleppo dengan mendirikan dua madrasah, kata al-Hassani. Madrasah itu adalah Al-Firdaws dan Khankah. Hassani mengungkapkan, Al-Firdaws letaknya dekat dengan Bab al-Maqam, Aleppo. Madrasah ini mengajarkan studi dan hukum Islam, khususnya mazhab Syafii.
Berdasarkan sistem pendidikan yang berlaku kala itu, Madrasah Al-Firdaws didukung oleh satu guru, imam, dan 20 sarjana, sedangkan Madrasah Khankah dikhususkan untuk mempelajari hukum syariah dan sejumlah bidang ilmu lainnya. Letaknya di Mahalat al-Frafera. Kedua madrasah melahirkan banyak pakar.
Namun, dari dua madrasah yang didirikan Dhayfa, Al-Firdaws menjadi lembaga yang lebih banyak dikenal orang. Nama Dhayfa melambung bersama popularitas madrasah itu. Sebab, madrasah yang terletak di barat daya Bab al-Maqam ini merupakan yang terbesar di Aleppo pada masa Ayyubiyah.
Didirikan di luar tembok-tembok kota, Al-Firdaws dibangun dengan struktur terpisah pada 1235-1236 Masehi. Meski dibangun saat kekuasaan Ayyubiyah, bangunan madrasah dipengaruhi oleh warisan arsitektur Romawi dan Bizantium. Salah satunya tecermin dari gedung beratap yang dilengkapi dengan halaman.
Ada empat pintu masuk madrasah. Salah satunya adalah pintu masuk utama yang arsitekturnya khas Ayyubiyah. Bentuk pintu masuk tersebut memanjang dan tak terlalu lebar, sedangkan ruangan kelas dibangun dengan bahan batu-batu keras dan beratap kubah yang elegan.
Pada dinding-dinding ruang kelas tersebut, dibuat ceruk. Gunanya sebagai tempat untuk menyimpan buku. Tak hanya itu, ada celah yang dibuat untuk melihat pemandangan di luar ruang kelas. Melalui celah itu, para siswa bisa melihat melihat kebun bertembok dan kolam yang cukup luas.
Ruang kelas semacam itu hampir sama dengan ruang kelas yang ada di madrasah-madrasah di Baghdad, Irak. Sementara itu, terdapat sejumlah bangunan untuk tempat tinggal yang ada di bagian timur laut dan barat daya madrasah. Di sebelah selatan, terdapat masjid dengan dua kubah.
Hassani menuturkan, Dhafya Khatun, lahir di Aleppo pada 1186 Masehi. Ayahnya adalah Raja Al-Adel yang merupakan saudara laki-laki Salahuddin Al-Ayyubi. Ia menikah dengan Al-Zahir yang merupakan anak laki-laki Salahuddin. Mereka mempunyai putra bernama Abdul Aziz.
Setelah Abdul Aziz mangkat, Dhayfa kemudian menjadi ratu Aleppo. Kala itu, ia harus menghadapi ancaman dari Mongol, Seljuk, Tentara Salib, dan Khuarzmein. Ia menjelma menjadi sosok yang dikagumi oleh banyak orang. Selain karena kebijakannya yang memihak rakyat, juga karena kemurahan hati serta kepeduliannya pada pendidikan.
Orang juga mengenalnya sebagai patron dalam pengembangan arsitek di Suriah. Banyak bangunan yang dibangun atas restu Dhayfa. Ia mengembuskan napas terakhir pada 1242 Masehi. Ia meninggalkan warisan berupa lembaga pendidikan yang sangat terkenal. Nama Dhayfa pun tak lekang oleh masa.