Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
"Pancasila adalah sumbangan terbesar umat Islam!” Kini mungkin banyak orang yang lupa pada sosok yang mengucapkan kalimat tersebut. Kalau ingin tahu, ucapan itu dikatakan mendiang Let Jend (purn) Alamsyah Ratu Prawira Negara yang kala tahun 1970-an menjadi menteri agama di Kabinet Pembangunan III Orde Baru (1978-1983).
Saat itu, suasana kenegaraan pun mirip masa kini. Persaingan politik kekuasaan sangat panas. Demonstrasi mahasiswa bergolak yang kemudian melahirkan kebijakan normalisasi kehidupan kampus melalui NKK/BKK. Umat Islam secara politik saat itu juga tersisih. PPP hanya partai pelengkap penderita. Mengaku Islam selalu dicurigai sebagai kaum radikal disebut sebagian kelompok berkuasa tengah bergerilya kembali ke Piagam Jakarta atau negara Islam.
Nah, Alamsyah yang suka mengenakan kopiah yang dimiringkan, hadir dalam situasi yang tepat. Dia mampu mengunci dan mendinginkan suasana panas itu. Gesekan sempat tidak terlalu tajam, meski kemudian hadir kembali dengan bentuk gerakan lain, seperti munculnya gerakan Komando Jihad ala Imran dkk di Bandung. Dia melanjutkan estafet di Kemenag dari pembaharuan doktrin pemikiran Islam ala Prof DR Mukti Ali.
Keterangan Foto: H Alamsyah Ratu Prawiranegara
Maka, bila hari ini sosok menteri agama dipegang oleh sosok purnawiraan jenderal seperti Fachrul Razi, tak terlalu mengherankan. Bahkan, tugas menangani radikalisme juga bukan barang baru bagi menteri agama yang berasal dari militer dan Aceh ini. Pada zaman pemerintahan presiden Soeharto dahulu sudah dilakukan.
Alhasil, penunjukan menteri agama dari kalangan militer, yakni seperti Jenderal (purn) Fachrul Razi, juga bukan hal aneh di republik tercinta ini. Sebab, selain Alamsyah juga ada sosok purnawiraan yang lain.
Lalu siapa dia? Lagi-lagi jawabannya ada pada sosok menteri agama pada kabinet Soeharto periode 1992-1997. Dia adalah sosok Laksda (Purn) Tarmizi Taher. Atas sosok kesalahen dia yang kala itu dikenal akrab publik sebagai ‘tukang baca’ doa di banyak acara resmi kenegaraan, kemudian dipercaya sebagai Menteri Agama. Sebelum jadi menteri, pria asal Minang yang menjabat kepala Pusat Bintal ABRI ini menjadi sekjen Departemen Agama, kini Kementerian Agama.
Keterangan Foto: Tarmizi Taher.
"Kesan saya, penunjukan kepada Pak Fachrul Razi sebagai upaya untuk mengakhiri suasana perebutan NU dan Muhammadiyah di Kementrian Agama itu. Kini, perhatiannya lebih berimbang. Sebab, bila NU berkuasa jabatan strategis sebagian besar di sana dari kalangan NU. Begitu juga bila menteri Muhammadiyah pun cenderung begitu. Nah, saya kira Pak Fachrul pun akan mampu meredakan ketegangan yang selama ini terasa di Kementerian Agama itu. Sosok dia sudah tepat untuk menetralisasi keadaan,’’ kata Fachry Ali.
Selain itu, kata Fachry, sosok Fachrul Razi tepat untuk menangani radikalisasi. Dia tahu banyak hal tentang menangai radikalisme. Dan tahu kebijakan yang tepat untuk mengatasinya. "Dia punya banyak pengalaman soal membuat kebijakan soal menangani radikalisasi," kata Fachri Ali.