REPUBLIKA.CO.ID, Cacing dan Jangkrik merupakan dua hewan yang biasa dijumpai sebagai bahan makanan ataupun obat-obatan, baik kosmetik maupun jamu. Banyak orang juga yang membudidayakan kedua hewan tersebut.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa terkait hukum memakan dan membudidayakan kedua hewan itu. MUI memandang perlu untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang hukum memakan dan membudidayakan kedua hewan tersebut.
Pada 2000, MUI mengeluarkan fatwa terkait hal tersebut. Dalam keputusannya tentang hukum berkaitan dengan cacing disebutkan, cacing merupakan hewan yang masuk kategori al-hasyarat (hewan bumi). MUI menjelaskan, baik cacing maupun jangkrik merupakan hewan yang halal untuk dikonsumsi.
Meski demikian, MUI mengakui adanya perbedaan pendapat para ulama dalam menyikapi masalah tersebut. Pendapat para ulama, yaitu Imam Malik, Ibn Abi Laila dan al-Auza'i yang menghalalkan memakan cacing sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan. Sementara, ada pula pendapat ulama yang mengharamkan memakan cacing dan jangkrik.
MUI pun berpendapat bahwa membudidayakan cacing untuk diambil manfaatnya tidak untuk dimakan, tidak bertentangan dengan hukum Islam. Selanjutnya, membudidayakan cacing untuk diambil sendiri manfaatnya, seperti bahan makanan untuk burung atau dijual hukumnya boleh (mubah).
Sementara, hukum yang berkaitan dengan jangkrik, yaitu jangkrik merupakan binatang serangga sejenis belalang. Membudidayakan jangkrik untuk diambil manfaatnya misalnya sebagai bahan obat-obatan, kosmetik misalnya untuk dimakan atau dijual hukumnya boleh atau halal sepanjang tidak menimbulkan bahaya.
Dalam menetapkan fatwa tersebut, MUI merujuk dari berbagai sumber antara lain dari Alquran. Dalam QS al-Baqarah ayat 29 berbunyi "Allah-lah yang menjadikan semua yang ada di bumi untuk kamu sekalian." Kemudian, dalam QS al-Jatsiyah ayat 13 menjelaskan, "Allah menundukkan untukmu semua yang ada di langit dan di bumi (sebagai rahmat) dari-Nya". MUI juga merujuk dari firman Allah QS Lukman ayat 20 yang berbunyi "Tidakkah kamu memperhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentinganmu) apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin".
Selain Alquran, MUI merujuk kepada hadis-hadis nabi dalam menfatwakan tentang kedua hewan tersebut. Contohnya, " Apa-apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya (Alquran) adalah halal, apa-apa yang diharamkan-Nya, hukumnya haram dan apa-apa yang Allah diamkan atau tidak dijelaskan hukumnya dimaafkan. Untuk itu terimalah pemaafan-Nya sebab Allah tidak pernah lupa tentang sesuatu apa pun. (HR al-Hakim).
Hadis lainnya yaitu "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, janganlah kamu sia-siakan, menentukan beberapa ketentuan, janganlah kamu langgar, mengharamkan beberapa hal, janganlah kamu rusak; dan Allah tidak menjelaskan hukum beberapa hal karena kasih sayang kepadamu, bukan karena lupa, janganlah kamu cari-cari hukumnya." (HR at-Turmudzi dan Ibn Majah).
MUI juga merujuk kaidah fikih terkait fatwa makan dan membudidayakan cacing dan jangkrik. Di antara kaidah fikih yang dijadikan rujukan yaitu berbunyi "Pada dasarnya segala sesuatu yang bermanfaat adalah mubah atau halal. Keputusan MUI tentang fatwa terhadap kedua hewan tersebut diharapkan menjadi pedoman bagi masyarakat ataupun LPPOM dalam memberikan sertifikat halal."