REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hasan Basri Tanjunh
Dua pekan lalu, di tengah aksi unjuk rasa pelajar di Jakarta, ada kejadian yang mengharukan. Seorang ibu seketika tampil dengan pengeras suara untuk menenangkan massa yang anarkistis dan memanggil nama anaknya.
"Nak, kamu anak sekolah. Belajar, belajar, itu tugas kalian. Orang tua kalian menunggu di rumah. Kamu anak saleh, tolong hentikan, untuk apa kamu lakukan ini. Kasihan orang tua kalian, pasti mereka sangat waswas. Anakku Faiz, tolong pulang ya sayang..." Itulah ungkapan hati seorang ibu sambil menangis setelah mengetahui anaknya ikut dalam aksi tersebut.
Kejadian di atas menyadarkan bahwa ada masalah dalam pendidikan anak-anak kita. Paling tidak, ada tiga hal yang patut dievaluasi dan dicari solusi.
Pertama, sedemikian rapuhnya relasi dan komunikasi antara orang tua dan anak di rumah, sehingga tidak merasa perlu minta izin untuk melakukan sesuatu. Sekolah Pertama (al-madrasah al-uulaa) adalah keluarga, di mana ayah dan ibu menjadi guru utama. Dalam keluarga nilai-nilai keimanan (akidah), ketaatan (ibadah), dan kebaikan (akhlak) ditanam dan ditumbuhkan. Adakah anak-anak kita kehilangan adab atau orang tua yang belum sungguhsungguh mengajarkannya?
Kedua, sedemikian renggangnya hubungan intelektual dan emosional antara guru dan murid sehingga begitu mudah tidak hadir di sekolah. Sekolah Kedua (al-madrasah ats-tsaaniyah) adalah lembaga pendidikan formal, di mana guru menjadi orang tuanya. Ketika murid meninggalkan pembelajaran, rasa hormat mereka telah sirna. Pendidikan adab dalam keluarga lalu dipupuk di sekolah, semestinya membuat anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang berkeadaban.
Ketiga, sedemikian kuatnya pengaruh media sosial dan teman sebaya sehingga mementahkan peran orang tua dan guru. Sekolah Ketiga (al-madrasah ats-tsaalitsah) adalah media. Kejadian di atas menyatakan, ada kekuatan besar yang sangat menentukan pertumbuhan anak-anak kita, yakni media sosial (medsos). Oleh karenanya, baik orang tua maupun guru harus menguatkan dan mengeratkan kembali jalinan kasih sayang dengan anak-anaknya.
Dr Abdul Aziz Bin Fauzan dalam buku "Aturan Islam tentang Bergaul dengan Sesama" (2010), mengatakan, hubungan antara orang tua dan anak adalah resiprokal dan saling menopang. Setiap kali anak merasakan adanya perhatian orang tua, ia akan semakin berbakti, tulus, dan terdorong untuk memberikan hak-haknya. Adapun sebaliknya, jika yang dirasakan adalah kurang kasih sayang, kurang perhatian, dan tidak peduli dengan pendidikannya, relasi akan menjadi kaku, dingin, dan hampa.
Mendidik anak adalah amanah terbesar yang Allah berikan kepada orang tua. (QS 8:27-28). Karena itu pula, orang tua diperintahkan menjaga keluarganya dari siksa neraka. (QS.66:6). Sejatinya, neraka bukan hanya api yang membara di akhirat nanti, melainkan juga segala tindakan atau keadaan yang menyengsarakan hidup di dunia. Oleh karena itu, Nabi SAW mengingatkan akan arti kepemim pinan dalam keluarga, yang kelak akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT. (HR Bukhari).
Akhirnya, jika hari ini anak-anak terlepas dari geng gaman karena kuatnya pengaruh media sosial dan ling kungan, boleh jadi suatu hari mereka akan terhempas dari pelukan. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain kecuali menguatkan pendidikan adab, serta meningkatkan perha tian dan pengawasan dalam pergaulannya. Insya Allah, anak-anak kita tidak akan terlepas lagi, aamiin. Allahu a'lam bish-shawab.