Senin 23 Sep 2019 22:42 WIB

Membaca Karya Ibnu Khaldun di Masjid

Sejatinya masjid tak hanya menjadi tempat beribadah.

Diskusi dakwah di masjid (ilustrasi)
Foto: Republika TV
Diskusi dakwah di masjid (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejatinya masjid tak hanya menjadi tempat beribadah.  Menurut J Pedersen dalam bukunya Arabic Book, pada masa keemasan Islam, masjid juga berfungsi sebagai pusat kegiatan intelektualitas. Di era kekhalifahan masjid merupakan tempat para sarjana dan ulama Muslim menyusun buku.

"Sebelum diterbitkan, seorang penulis atau ilmuwan harus mempresentasikan isi bukunya kepada publik. Mereka melakukannya di masjid dengan cara dibaca atau didiktekan," papar Ziauddin Sardar. Paparan penulis atau ilmuwan itu lalu didengarkan masyarakat umum dan dikopi oleh seorang warraqin--yang bekerja sebagai penulis yang menyalin berbagai manuskrip yang dipesan para pelanggannya.

Masjid dan perpustakaan pada zaman kejayaan Islam tak bisa dipisahkan. Sebab, masjid juga memainkan peran yang penting lainnya, yakni sebagai perpustakaan. Kehadiran perpustakaan di dunia Islam juga berasal dari aktivitas keilmuan yang digelar di rumah Allah SWT. Menurut Pedersen, pada masa itu masyarakat Muslim menyerahkan koleksi bukunya ke masjid untuk disimpan di dar al-kutub (perpustakaan).

Masyarakat di hampir seluruh dunia Islam, mulai dari Atlantik hingga ke Teluk Persia,  menjadikan masjid sebagai tempat yang aman untuk menyimpan buku. "Buku-buku itu dihadiahkan dan banyak ilmuwan yang mewariskan perpustkaan pribadinya kepada masjid untuk menjamin buku mereka tetap terpelihara," ungkap R Mackensen dalam Background of the History of Muslim Libraries Observes.

Tak heran, jika koleksi buku yang dimiliki perpustakaan masjid begitu melipah. Di Allepo, Suriah, misalnya, perpustakaan masjid tertua bernama Sufiya mengoleksi buku hampir 10 ribu volume. Buku-buku itu merupakan pemberian dari penguasa Kota Aleppo yang termasyhur, Pangeran Sayf al-Dawla. Gerakan wakaf buku ke perpustakaan masjid yang dipelopori pemimpin itu juga diikuti oleh para ilmuwan dan intelektual.

Masjid Abu Hanifah di Irak pun memiliki koleksi buku yang melimpah. Buku-buku yang tersimpan di perpustakaan masjid itu merupakan hibah atau hadiah dari koleksi pribadi. Dengan menyimpan bukunya di perpustakaan masjid, buku-buku itu akan dirawat dan dibaca oleh lebih banyak orang. Sehingga, pengetahuan yang terkandung dalam buku itu bisa tersebar lebih luas.

Salah seorang tokoh yang menyumbangkan koleksinya ke Masjid Abu Hanifah adalah seorang dokter bernama Yahia Ibnu Jazla (wafat 1099 M) dan penulis sejarah Al-Zamakhshari (wafat 1143 M). Perpustakaan masjid lainnya yang juga mengoleksi banyak buku adalah Al-Qarawiyyin. Aktivitas perpustakaan dan keilmuwan di masjid yang terletak di Kota Fez, Maroko, itu telah melahirkan universitas pertama di dunia.

Sejarawan Al-Fasi pada 1548 M mengungkapkan, salah seorang ilmuwan yang menyumbangkan buku yang ditulisnya adalah Abu Abdullah Muhammad Al-Ajmawi. Ia menyumbangkan karya besarnya berjudul Al-Qawl Al-Mutabar kepada para siswa yang belajar di masjid itu. Ilmuwan legendaris, Ibnu Khaldun, juga mewakafkan bukunya yang berjudul Kitab Aal-Ibar ke perpustakaan masjid itu.

Buku yang berharga itu lalu dipinjamkan kepada orang tepercaya selama dua bulan, setelah itu dikembalikan lagi ke perpustakaan. Jadilah perpustakaan masjid menjadi tempat penyimpanan buku-buku yang langka dan tak ternilai harganya. Dengan koleksi buku yang melimpah, para pelajar, serta ilmuwan pun berbondong-bondong pergi ke masjid.

Mereka datang ke masjid dengan dua tujuan. Untuk beribadah, sekaligus meningkatkan pengetahuan dengan membaca buku. Bahkan, para ilmuwan dan sarjana Muslim sampai menetap di masjid. Syahdan, dua ulama dan ilmuwan Muslim terkemuka, Al-Ghazali dan Al-Baghdadi, sempat menetap beberapa periode di menara Masjid Umayyah di Damaskus.

Sedangkan, Ibnu Al-Haitham fisikawan penemu optik sempat tinggal di sebuah qubah Masjid Al-Azhar Kairo, Mesir. Menjelang meninggal, para ulama dan ilmuwan itu mewakafkan koleksi buku mereka ke masjid. Masjid Al-Aqsa di Yerusalem, pada era kejayaan Islam, juga memiliki empat perpustakaan. Tempat tersuci ketiga umat Islam itu mengoleksi buku dalam jumlah yang sangat banyak. Buku itu tersimpan di Madrasah Nahawiya dan Ashrafyia yang berada di sekitar masjid.  

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement