Rabu 09 Oct 2019 05:00 WIB

Tanda Kekosongan Jiwa dan Binasanya Hati Menurut Buya Hamka

Kekosongan hati karena ketidakseimbangan iman dan alam salih.

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Berdoa Ilustrasi
Foto: Antara
Berdoa Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sebagian umat Islam mungkin ada saja yang hanya mengaku beriman, tapi lalai dalam mengerjakan amal salih. Padahal, jika memang benar-benar beriman, seorang Muslim seharusnya kontinu melaksanakan ibadah dan amal salih lainnya.  

Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia, yang tidak akan memberatkan. Namun, bukan berarti penganutnya dapat menggampangkan urusan agama dengan alasan yang dibuat-buat sendiri. 

Baca Juga

Dalam buku "Kesepaduan Iman dan Amal Salih" ini, Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka menegaskan bahwa pertanda kosongnya jiwa serta binasanya hati, yaitu ketika seorang Muslim sekadar mengaku beriman tapi dia enggan dan lalai mengerjakan amal salih secara berkelanjutan.  

Hal ini sesuai dengan kondisi zaman ini, di mana keimanan hanya dijadikan 'topeng' untuk meraih keuntungan tertentu, seperti halnya dalam politik. Namun, untuk mengerjakan amal salih mereka melalaikannya.   

Padahal, iman dan amal salih merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena apabila salah satu dari keduanya tiada maka kesempurnaan dari salah satunya akan berkurang. Iman tanpa amal itu hampa sedangkan amal tanpa iman itu percuma. 

Hal ini terlihat dari sabda Nabi SAW: “Allah tidak menerima iman tanpa amal perbuatan dan tidak pula menerima amal perbuatan tanpa iman.” (HR ath-Thabrani).

Dalam karyanya ini, Buya Hamka menjelaskan tentang bagaimana seharusnya menempatkan porsi iman dan amal salih secara tepat sesuai tuntunan syariat. "Bukti kita percaya kepada-Nya tentu kita ikuti perintah-Nya. Kita mengikuti perintah-Nya adalah karena kita percaya," kata Buya Hamka.  

Di zaman modern ini, sebagian masyakat mungkin masih banyak yang beranggapan bahwa shalat tidak harus berupa ritual ibadah, tetapi cukup dalam hati, perempuan tidak harus menutup aurat, yang penting adalah menjaga hati, dan lain sebagainya.  

Anggapan semacam itu sangat bertolak belakang dengan ajaran agama Islam. Karena, Rasulullah sendiri sangat tekun melaksanakan ibadah dan amal salih. Saat mengerjakan shalat, kaki Rasulullah bahkan sampai bengkak. Uangnya pun tak pernah tersimpan lama di rumahnya karena langsung disedekahkan.   

Allah menjadikan manusia sebagai makhluk teristimewa. Allah menciptakan manusia sebagai khalifah di bumi, sehingga malaikat dan iblis pun disuruh sujud padanya. Sementara, manusianya sendiri justru banyak yang mengabaikan perintah-Nya.  

Melihat fenomena semacam itu, Buya Hamka pun tergugah untuk menyusun tulisan-tulisannya berkenaan dengan keimanan yang lekat dengan amal salih. Jika mengaku Islam, menurut Hamka, maka umat sudah selayaknya mengerjakan ibadah dan amal salih lainnya.  

Namun, sebaliknya amal salih tanpa iman juga tidak dibenarkan dalam agama. Banyak orang yang kelihatan berbuat baik, padahal dia tak beriman. Dia banyak beramal tapi hal yang dilakukannya tidak berlandaskan iman. 

Padahal, Allah telah menegaskan dalam Alquran bahwasanya orang yang mempersekutukan Allah dengan yang lain, percumalah amalnya. "...sekiranya mereka mempersekutukan Allah, pasti lenyaplah amalan yang telah mereka kerjakan." ( Surah al-An'am ayat 88).

Karena itu, umat membutuhkan iman agar amal salihnya diterima Allah. Menurut Buya Hamka, iman yang baik akan menimbulkan amal yang baik, sedangkan amal yang baik tidak akan ada kalau imannya tidak ada.  

Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW: “Allah tidak menerima iman tanpa amal perbuatan dan tidak pula menerima amal perbuatan tanpa iman.” (HR ath-Thabrani).

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement