REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kehadiran wahyu di ranah makhluk yang profan merupakan perwujudan dari sifat Arrahman dan Arrahim Sang Khalik. Ia dihadirkan sebagai perangkat bagi manusia untuk menggapai fitrahnya, yang mencakup iman (aspek akidah), Islam (syariat), dan ihsan (akhlak), dalam sebuah kemasan yang kita kenal sebagai agama.
Jika wahyu verbal (Alquran dan sunah) dianugerahkan Allah SWT pada manusia lewat perantaraan Rasul pilihan-Nya, maka wahyu nonverbal (generik) dianugerahkan Allah SWT kepada segenap manusia yang berkenan menjelajahi semesta berpikirnya (aqli) lewat penalaran ilmiah, eksperimen, dan tindak intelektual lainnya.
Tingkat penguasaan akan kedua jenis wahyu inilah yang akan menentukan kemampuan seseorang dalam berinteraksi dengan hukum alam (sunnatullah) dalam jagat kehidupan yang serba bersaing ini. Berinteraksi dalam artian sejalan, mengambil manfaat dan jangan sampai berbenturan dengan sunnatullah tersebut.
Hasan Al-Banna berkata, ''Janganlah Anda berbenturan dengan sunah-sunah alam (sunnatullah), karena sesungguhnya dia pasti menang. Namun, taklukkanlah dia dan gunakanlah dia, ubah arusnya, dan mintalah bantuan dengan menggunakan sebagian lainnya.''
Sementara Yusuf Alqaradhawi berkata, ''Karena sesungguhnya kemenangan (kejayaan) itu tidak datang dengan tiba-tiba dan tidak turun dengan serta-merta dan mendadak. Dia memiliki aturan-aturan yang Allah SWT paparkan dalam Alquran agar hamba-hamba-Nya yang beriman mengetahuinya dan bisa berinteraksi dengannya dengan cara yang benar.''
Interaksi yang baik dengan sunnatullah akan memunculkan keunggulan komparatif manusia, baik sebagai individu maupun umat (QS Ali-Imran [3]: 110), sebagaimana yang telah diperagakan oleh para pendahulu kita di zaman yang serbajaya.
Sebaliknya, interaksi yang buruk dengan sunnatullah, dapat menyebabkan kualitas kemanusiaan kita meluncur kembali ke arah 'asfala saafiliin (QS Attiin [95]: 5). Yang bukan hanya menyingkirkan kita dari daftar 'orang-orang yang beruntung' di akhirat kelak, tapi juga mengalienasi kita dari alam kejayaan duniawinya manusia.
Karena itu, peran wahyu sebagai pembimbing manusia dalam berinteraksi dengan hukum alam (sunnatullah) merupakan keniscayaan, wa wajadaka dhaallan fa hadaa (QS Adhdhuha [93]: 7). Lebih tegasnya lagi, wahyu (verbal dan nonverbal) dalam kemasan Islam telah ditakdirkan Allah SWT menjadi satu-satunya solusi konkret bagi segenap persoalan manusia, baik di dunia maupun akhirat. n