REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Feri Nugraha
Sesungguhnya bagaimana cara mengukur kualitas diri kita di hadapan Allah dan di hadapan manusia? Satu di antaranya kita harus mampu mengerjakan amal perbuatan tanpa niat apa pun, kecuali mengharap ridha Allah meskipun amal tersebut sukar dikerjakan.
Dalam Nashaihul 'Ibad disebutkan bahwa sahabat Ali bin Abi Thalib berkata, "Amal yang paling sulit itu ada empat, yaitu memaafkan pada saat marah, dermawan saat sedang kesulitan, menjaga diri dari perbuatan tidak terpuji saat sendirian, dan berkata yang sebenarnya kepada orang yang disegani atau orang yang diharapkan kebaikannya."
Memaafkan pada saat marah. Kita marah tidak dilarang asalkan ada alasan logis dan berlandaskan agama. Namun, menahan amarah dan terlebih lagi memaafkan ketika dalam puncak kemarahan itu jauh lebih baik dan lebih mulia. Emosi dan amarah datangnya dari bisikan setan, sedangkan menahan amarah dan memaafkan datang dari bisikan nurani.
Rasulullah berkata, "Siapa yang mampu menahan marahnya, berlapang dada, selalu berbuat kebaikan, menyambut silaturahim, dan menunaikan amanah, niscaya Allah pada Hari Kiamat akan me ma sukkan dia ke dalam cahaya-Nya yang agung," (HR Ad-Dailami). Dermawan saat ekonomi sulit. Bagaimana logikanya?
Dermawan itu saat kita memiliki kelebihan harta benda, bukan? Namun, tidak demikian dengan orang yang beriman, bagi mereka dermawan tidak ada waktu dan batasnya karena memang harus setiap saat, baik sedang kesulitan ekonomi maupun sedang lapang dalam urusan rezeki.
Memiliki kelebihan harta ataupun tidak, dermawan tetap berjalan karena yakin Allah pasti berkomitmen—mustahil ingkar— terhadap firman-Nya. Satu rupiah kita keluarkan, balasannya pasti akan lebih dari itu asalkan kita yakin dengan janji Allah. Bagi orang beriman, balasan Allah bukan semata-mata tujuan karena menyenangkan orang lain dengan rezeki yang kita miliki itu jauh lebih utama dari apa pun.
Menjaga diri dari perbuatan tidak terpuji saat sendirian. Terkadang kita sering menampilkan diri sesaleh mungkin di depan orang lain. Namun, saat sendirian, kita malah asyik dengan kemaksiatan karena merasa bebas dan tidak ada orang lain yang melihat. Padahal, Allah tentu saja melihat segala apa yang kita lakukan—jangankan itu, isi hati kita saja Allah tahu.
Menjadi hamba Allah yang sempurna memang susah—bahkan mustahil—karena kita tempatnya berbuat khilaf dan salah. Namun, hal itu bukan alasan untuk kita berleha-leha asyik dengan kemaksiatan ketika sendirian. Ingat, Allah menonton perilaku kita. Sejatinya, kita malu kalau saat sendirian iman dan akhlak saleh kita malah kalah dengan ajakan setan.
Berkata yang sebenarnya kepada orang yang disegani atau orang yang diharapkan kebaikannya. Menyampaikan kebaikan kepada orang yang disegani atau ditakuti, kepada penguasa, misalnya, memang perbuatan sulit, kecuali orang-orang yang beriman yang diikuti hati yang ikhlas tanpa pernah sekalipun sombong di hadapan orang yang dinasihati.
Kebenaran adalah kebenaran meskipun ditenggelamkan ke dalam tanah. Orang beriman akan menyampaikan kebenaran itu kepada siapa pun, termasuk pada penguasa walaupun harus menanggung akibatnya—jika si penguasa tersinggung. Namun, kita yakin bahwa kebenaran apabila disampaikan dengan cara yang baik, mustahil menyinggung orang lain.
Apa pun alasannya, menyampaikan kebenaran atau nasihat kepada penguasa adalah wajib meskipun hal itu pahit dirasakan. Allah akan menolong seorang hamba-Nya apabila ia istiqamah dalam kebaikan dan amal saleh di hadapan siapa pun. Mari kita mengukur kualitas iman kita dengan empat amal yang disebutkan di atas. Wallahu a'lam—Allahlah pemegang kebenaran yang sejati.