REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fajar Kurnianto
Pada hakikatnya, manusia hidup di dunia adalah untuk beramal, baik itu amal individual atau ibadah ritual kepada Allah maupun ibadah sosial di antara sesama. Amal ibadah dapat mendekatkan diri kepada Allah sehingga mendapatkan cinta dan ridha-Nya. Sementara itu, amal sosial dapat mengeratkan dan mengakrabkan hubungan sosial sehingga pada gilirannya dapat membawa perubahan yang positif atau kemaslahatan bagi semua orang dan lingkungan. Namun, amal saleh belum cukup tanpa diiringi keikhlasan.
Ikhlas adalah memurnikan hati dari selain Allah dalam amal. Maksudnya, segala amal dilakukan semata-mata karena-Nya, bukan karena yang lainnya, misalnya untuk pencitraan atau pamer (riya). Dalam hadis, Nabi bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak memandang postur tubuhmu dan tidak pula pada kedudukan maupun harta kekayaanmu, tetapi Dia memandang pada hatimu. Barang siapa memiliki hati yang baik, maka Allah menyukainya. Manusia yang paling dicintai Allah ialah yang paling bertakwa." (HR Muslim dan ath-Thabrani).
Orang yang beramal karena selain Allah, maka amal itu tak ada nilainya di sisi-Nya karena amal itu tidak ditujukan kepada-Nya, tetapi kepada selain-Nya. Bagaimana mungkin Allah memberikan nilai kepada orang yang amalnya bukan ditujukan kepada-Nya? Nabi mengatakan dalam hadis qudsi, "Allah berfirman, 'Aku adalah Tuhan yang paling tidak membutuhkan selain diri-Ku, maka barang siapa yang beramal diiringi dengan tujuan untuk selain-Ku maka Aku berlepas diri darinya, dan silakan ia minta balasannya kepada selain-Ku itu yang menjadi tujuan dari amalnya.'" (HR Ibnu Majah).
Orang yang ikhlas beramal berarti ia mengorientasikan segala amal, kerja, dan aktivitasnya baik itu yang bersifat ukhrawi maupun duniawi, hanya karena Allah. Sehingga, mindset atau pola pikirnya untuk amal itu adalah untuk kebaikan dan kemaslahatan, bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk orang lain. Orang yang ikhlas akan dapat mengontrol amalnya. Ia akan berpikir lebih dulu sebelum berbuat, bukan berbuat dulu baru kemudian berpikir. Atau, berpikir dulu sebelum berbicara, bukan berbicara dulu baru berpikir. Orang yang ikhlas dapat menentukan amal apa yang baik untuk dilakukan atau amal yang buruk untuk ditinggalkan.
Orang yang ikhlas tidak akan memikirkan apa yang akan didapatkan dari manusia karena baginya apa yang didapat dari Allah sudah cukup bahkan lebih utama. Orang yang ikhlas berarti lebih menginginkan keridhaan Allah dibandingkan keridhaan manusia. Lebih baik tidak disukai manusia karena benar, daripada tidak disukai Allah karena salah. Nabi mengatakan, "barang siapa membuat murka Allah demi mendapat keridhaan manusia maka Allah murka kepadanya dan membuat orang yang semula ridha kepadanya menjadi murka. Namun, barang siapa membuat Allah ridha meskipun manusia murka kepadanya, maka Allah akan meridhainya dan membuat orang yang tadinya murka menjadi rida." (HR ath-Thabrani).
Orang yang ikhlas tidak perlu takut dengan tekanan manusia, selama ia benar berada di jalan Allah. Justru, orang yang tunduk pada tekanan manusia yang mengarahkannya kepada keburukan dan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, itulah yang akan membuat Allah murka. Bahkan, orang yang tadinya setia kepadanya oleh Allah dibuat murka. Allah Mahakuasa membolak-balikkan hati manusia karena Dia Mahatahu apa yang tidak kita tahu.
Sepanjang seseorang beramal, bekerja, beraktivitas, atau bahkan mem buat suatu kebijakan bagi publik didasarkan pada kebenaran dan keikhlasan karena Allah, orang-orang yang tadinya marah pun akan berubah menyukainya. Semua itu mudah bagi Allah. Ikhlas adalah penentu diterimanya amal. Tanpa keikhlasan, selain amal itu menjadi sia-sia tak bernilai, alih-alih malah menimbulkan hal-hal buruk yang imbasnya membahayakan diri sendiri dan banyak orang. Wallahu a'lam.