Senin 30 Sep 2019 12:27 WIB

Kisah Ibrahim Bin Adham dan Burung Gagak

Setiap makhluk di alam raya ini memiliki rezeki sendiri-sendiri.

Oase (ilustrasi)
Foto: Wordpress.com
Oase (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang penguasa bernama Abu Ishaq bin Adham hidup pada abad kedelapan Masehi. Masyarakat di Balkh (sekitar Afghanistan) menge nalnya sebagai pemimpin yang bijak dan berhati lembut. Ke mana dia pergi, orang sekitar akan langsung memberikan penghormatan.

Suata ketika, pria yang dikenal dengan nama lain Ibrahim bin Adham ini terduduk di sebuah tempat. Di sana, dia membuka bekal makanannya. Tanpa diduga, seekor burung gagak datang mengambil sedikit makanan tersebut, lalu terbang menuju bukit. Ibrahim penasaran dengan burung tersebut.

Dia membungkus makanannya. Lalu, menunggangi dan memacu kudanya berlari mengikuti arah burung tadi. Tapi, burung itu begitu cepat membelah udara, sehingga dia tak lagi mengetahui ke mana hewan terbang itu mengarah.

Karena jejak terakhir yang diingatnya ke arah bukit, dia memacu kudanya ke sana. Sampai di dataran tinggi bukit tadi, Ibrahim menemukan seseorang dalam kondisi terikat. Burung gagak tadi ada di dekat orang tersebut. Paruhnya yang membawa makanan bergerak mendekati mulut orang yang terikat.

Burung itu kemudian melepas makanannya. Mulut orang terikat itu terbuka dan menelannya. Hal seperti itu terjadi dalam beberapa hari sejak pria tak dikenal itu terikat dan dibuang kawanan perampok. Tapi, dengan kuasa Allah, dia masih hidup dan tetap mendapatkan rezeki untuk makan, sungguh luar biasa.

Kisah ini diabadikan seorang alim Syekh Muhammad Bin Abu Bakar Alushfuri dalam kitabnya Mawaizh Ushfuriyah yang berarti nasihat burung. Pesan yang terkandung di dalamnya adalah setiap makhluk di alam raya ini memiliki rezeki sendiri-sendiri.

Sungguh mustahil Sang Pencipta membiarkan makhluknya hidup tanpa rezeki. Jangankan yang bebas bergerak, makhluk terikat yang geraknya terbatas, seperti yang ditemui Ibrahim bin Adham pun masih mendapatkan rezeki, tetap hidup dan mengagungkan asma Allah.

Manusia selalu didorong untuk selalu optimistis menjalani kehidupan. Selalu meyakini bahwa Allah menyayangi ciptaan-Nya yang tersebar di berbagai belahan dunia. Di mana pun mereka berada dan apa pun fungsi yang dijalani tetap akan mendapatkan perhatiannya. Allah memerintahkan mereka untuk menikmati rezeki yang halal dan baik. (al-Baqarah: 172).

Halal berarti sesuatu yang boleh dikonsumsi sesuai ketentuan Islam. Yang baik (tayib) adalah segala makanan dan minuman yang layak dikonsumsi. Dengan mengonsumsi makanan semacam tadi, manusia akan mensyukuri keadaan yang dialaminya.

Berbagi kepemilikan untuk menunjukkan hakikat dirinya sebagai makhluk sosial yang tak bisa hidup sendirian. Juga, memaksimalkan ibadah kepada Sang Pencipta karena telah dianugerahi segala rezeki dan kenikmatan. Demikianlah Abu Bakar al- Ushfuri menjelaskan hikmah di balik kisah tersebut.

Bagaimana kelanjutannya? Sang pengarang menjelaskan, sejak itu, Ibrahim bin Adham makin memasrahkan kehi dupannya untuk Allah semata. Dia tinggalkan segala kekuasaan dan kenikmatan duniawi yang dimiliki. Ibrahim banting setir menjadi orang yang hidup ala kadarnya, jauh dari gemerlap dunia dan kemewahan yang selama ini dinikmati para bangsawan. Pria itu dikabarkan berkelana dari satu negeri ke lainnya.

Yang menarik adalah, meski dia hidup seder hana, tak pernah mengemis uang dan harta orang lain. Dia tetap bekerja, di antara nya, menjadi tukang kebun, membantu petani, atau sekadar berjualan. Semua itu dia lakoni untuk kesederhanaan memenuhi kebutuhan.

Ibrahim dikabarkan mengunjungi sejumlah tempat, di antaranya adalah Kota Makkah. Setelah itu, dia juga mengembara melewati padang pasir hingga sampai ke Yerusalem. Sekali lagi, dia hidup seadanya, tapi tetap mandiri tidak menjadi pemintaminta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement