Selasa 24 Sep 2019 21:21 WIB

Menag: UU Pesantren takkan Intervensi Kemandirian Pesantren

Menag mengatakan, ada ketentuan lebih lanjut yang mengatur secara rinci soal anggaran

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Agung Sasongko
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan tanggapan pemerintah saat Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (24/9).
Foto: Republika /Prayogi
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan tanggapan pemerintah saat Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (24/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan UU Pesantren tidak akan mengintervensi kemandirian atau independensi pondok pesantren. Karenanya, soal apakah pesantren harus berbentuk badan hukum untuk bisa menerima anggaran pemerintah, itu diserahkan kepada pihak pesantren.

"Pesantren (harus) berbadan hukum atau tidak, kita serahkan sepenuhnya kepada pesantren itu sendiri," kata dia usai menghadiri rapat paripurna di DPR, Jakarta, Selasa (24/9).

Baca Juga

Sebab, lanjut Lukman, para pengasuh pesantren berdasarkan UU Pesantren memiliki dewan masyayikh dan majelis masyayikh, yaitu orang-orang yang memiliki kompetensi terhadap pondok pesantren. Merekalah yang berwenang menentukan kebijakan-kebijakan yang akan ditempuh pesantren.

Meski begitu, Lukman menjelaskan, nantinya ada ketentuan lebih lanjut yang mengatur secara rinci soal kriteria pesantren yang dapat menerima anggaran pemerintah. UU Pesantren mengamanatkan agar pemerintah segera melahirkan aturan pemerintah, aturan presiden dan aturan menteri sebagai turunan dari undang-undang tersebut.

"Ya tentu itu nanti ada ketentuannya secara rinci. Tapi apapun itu ketentuan bagaimana pemerintah baik pusat, provinsi, kabupaten, maupun kota, untuk bisa memberikan dukungan kontribusi bantuannya kepada pondok pesantren," ujar dia.

Sebelumnya Anggota DPR Fraksi PPP Arsul Sani mengatakan sering menerima kelurahan dari kalangan pengurus pesantren. Keluhan ini soal status badan hukum lembaga pesantren sebagai persyaratan mendapat kucuran anggaran dari pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota.

"Satu contoh saja yang ingin saya sampaikan dan ini sering menjadi keluhan dari kalangan pondok pesantren, yaitu keharusan bahwa lembaga pesantren harus berbentuk badan hukum, setelah itu baru bisa mendapatkan anggran APBD baik itu tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota setelah tiga tahun," tambahnya.

Karena itu, Arsul menuturkan, ini harus dikoreksi ke depannya. "Agar siapapun yang telah memenuhi aturan pelaksanaan administrasi negara, maka begitu status yang telah terpenuhi itu dicapai, maka hak-nya sama untuk mendapatkan anggaran dari negara ataupun untuk mendapatkan perhatian yang sepenuhnya dari pemerintah," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement