REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Bidang Ghazwul Fikri Pusat Kajian Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Teten Romly Qomaruddien mempersoalkan definisi pesantren yang terdapat di dalam Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Pesantren. Menurutnya, RUU tersebut harus dikaji kembali dan jangan tergesa-gesa disahkan.
"Pendefinisian pesantren di situ (RUU Pesantren) dicantumkan sesuai definisi umum yang tertulis dalam riset masa lampau, seperti Martin van Bruinessen dari Belanda. Bahwa, pesantren itu ada kiai, santri, masjid, pondok, dan kitab kuning," kata dia kepada Republika.co.id, Jumat (20/9).
Teten melanjutkan, bila mengacu pada lima hal itu, lantas bagaimana dengan perkembangan model pesantren sekarang ini. "Terutama yang dikelola oleh ormas-ormas Islam yang boleh dikata modernis, mereka sudah mengembangkan pesantren jauh lebih dari itu," tuturnya.
Misalnya, dalam hal memaknai kitab kuning. "Kitab kuning yang dimaksud bukan saja kitab-kitab atau buku kiai dulu saja yang wajib di pesantren, tapi juga perkembangan kitab-kitab fikih modern itu sudah masuk apalagi di era digital itu sudah jauh lebih maju kan," tambahnya.
"Artinya untuk kitab kuning, ini perlu dikoreksi lagi, untuk perkembangan ke depan bukan hanya melihat masa lalu tapi visioner ke depan," tutur dia.
Terlebih, Teten mengatakan, tidak semua ormas Islam yang mengelola pesantren itu memenuhi 5 rukun tersebut. Karena ada beberapa pesantren yang dikelola ormas Islam yang meski tidak diwajibkan tinggal di pondok tetapi namanya adalah pesantren.
"Ada yang mondok ada yang tidak. Tetapi tetap namanya pesantren walaupun madrasah," tutur dia.
"Seperti misalnya model di Persis, meski pesantrennya ratusan itu tidak semua ada boarding tapi namanya tetap pesantren. Pesantren Persis nomor 1, 2, sampai ratusan. Ada yang full day ada yang boarding school. Ini harus didudukkan dulu," katanya.
Sebelumnya, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menanggapi soal Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Pesantren. Ketua PBNU bidang hukum, HAM, dan perundang-Undangan, Robikin Emhas menuturkan lembaga pendidikan yang tidak menggunakan kitab kuning berarti bukan pesantren.
"(Kalau tak memakai kitab kuning), ya bukan pesantren namanya. Kitab kuning adalah salah satu elemen pokok pesantren. Tanpa kitab kuning tidak bisa dikualifikasi Pesantren. Silakan saja disebut boarding school atau apa," kata dia kepada Republika.co.id, Jumat (20/9).