REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ada paradigma yang harus diubah dalam menjadi seorang enterpreneur, agar selain memikirkan keberhasilan profit, juga harus dilihat keberhasilan berwakaf mereka. Sehingga alat ukur keberhasilan seorang enterpreneur seharusnya tidak hanya dilihat dari profit yang dihasilkan, tapi dilihat juga dari seberapa banyak wakaf yang mereka berikan.
Founder Wakafpreneur Institue, Imam Nur Azis, menjelaskan seorang enterpreneur harus memikirkan juga soal wakaf, sosial, dan bisnis itu sendiri.
“Jadi kita ingin ciptakan enterpreneur dari keberhasilan berwakaf. Ada 5C untuk menjalankan keberhasilan Wakafpreneur ini,” ungkap dia dalam seminar wakaf kesehatan yang digelar di Aula Terapung Universitas Indonesia (UI) Depok, Senin (16/9).
Pertama, campaign (kampanye). Dalam menjalankan kampanye ini, kuncinya adalah literasi. Karena saat ini masih banyak masyarakat yang baru tahu bahwa ternyata wakaf ini bentuknya beragam, bisa wakaf air, wakaf saham, wakaf asuransi, dan lainnya.
“Lalu di Undang-Undang Wakaf, Indonesia juga sudah mengadopsi wakaf intelektual, jadi intelektual itu bisa diwakafkan loh sekarang. Ini harus kita lanjutkan,” papar Imam Nur Azis.
Setelah kampanye ini berjalan, kedua ada create. Seluruh masyarakat harus mengkreasikan wakaf ini, misalnya seperti sekarang ini sudah ada daring dan dibuatlah digital wakaf yang jumlahnya sudah banyak. Bahkan Badan Wakaf Indonesia (BWI) sudah menginisiasi wakaf tunai berjangka.
“Setelah kreasi ini tercipta, baru yang ketiga kita lakukan conversion. Misal yang punya perkebunan, itu bagaimana bisa dikonversi untuk menjadi wakaf,” kata Imam lagi.
Setelah itu, yang keempat adalah competent. Nazhir harus kompeten. Misalnya untuk wakaf rumah sakit ini sebenarnya sudah ada sejak dulu, tapi record-nya tidak pernah bisa jelas dipelajari umat saat ini, walaupun di negara-negara yang memiliki Kementerian Wakaf, itu pasti memiliki bangunan-bangunan wakaf tersebut.
Tapi sampai sekarang yang benar-benar kompeten menjadi nazhir agar bisa seperti di negara-negara tersebut, ungkap dia, masih terbilang minim sekali di Indonesia. Dan ini yang ingin dibangun oleh BWI, yakni nazhir-nazhir yang berkompeten.
“Dan kelima adalah comply, artinya apa yang kita kerjakan harus sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Mudah-mudahan ini cukup beri sedikit penjelasan,” tutur dia.