REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebelum peradaban Barat mengenal apotek, umat Islam sudah lebih dahulu mengetahuinya. Apotek pertama di dunia berasal dari bumi kaum Muslimin, yakni di Kota Baghdad sekitar 754 Masehi (M).
Kala itu, Baghdad merupakan ibu kota dari kekhalifahan Abbasiyah yang tengah dipimpin oleh Khalifah Harun ar-Rasyid. Seperti diketahui, pada masa pemerintahan tersebut, peradaban Islam terus berkembang, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan.
Sharif Kaf al-Ghazal dalam tulisannya bertajuk "The Valueable Contributions of Al Razi (Rhazes) in the History of Pharmacy during the Middle Ages" menyatakan, apotek pertama di Baghdad didirikan oleh para apoteker Muslim. Sementara, apoteker pertama di Eropa, yakni Geoffrey Chaucer, baru muncul pada abad ke-14 M. Kemudian, apotek mulai menyebar di benua tersebut pada abad ke-15 sampai ke-19 M. Jumlah apotekernya pun bertambah.
"Umat Islam yang mendirikan warung pengobatan pertama," ujar Howard R Turner dalam bukunya berjudul Science in Medievel Islam. Dia menuturkan, pada zaman tersebut, apotek dikelola oleh apoteker yang mumpuni dalam ilmu peracikan obat.
Zakaria Virk melalui buku Muslim Contribution to Pharmacy menjelaskan, apotek atau disebut saydanah merupakan seni menyiapkan sekaligus mengeluarkan obat. Ia menyebutkan, ada beberapa ilmuwan penopang apoteker waktu itu, di antaranya Yakoob Ibn Ishaq Al Kindi, Jabir Ibn Hayyan, serta Muhhamad Ibn Ahmad Al Maqdasi.
Menurut dia, apotek Islam memperkenalkan 2.000 lebih zat baru, meliputi asam jawa, pala, merkuri, cengkih, kayu manis, dan lainnya. "Apoteker Muslim saat itu juga sudah mengenal komposisi, dosis, dan efek obat," kaya Zakaria.
Ada tiga ciri apotek pada masa Abbasiyah, pertama ilmu obat berbeda dengan ilmu farmasi. Kedua, toko obat dikelola para ahli yang mematuhi kode etik tertentu. Lalu ketiga, tersedia pendidikan khusus bagi apoteker yang bertujuan memberikan pengetahuan terkait obatobatan kuno.