Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis dan Traveler
Saya sering menuliskan tentang dongeng pengantar tidur yang diceritakan Papi pada saya dan adik-adik sewaktu kecil dulu. Favorit saya adalah perjuangan Shalahuddin Al Ayyubi saat membebaskan Al Quds.
Cerita lain yang menarik adalah kecerdikan Abu Nawas dan bijaksananya Raja Harun Al-Rasyid. Saya selalu tertawa terpingkal-pingkal dengan ulahnya. Sampai sekarang pun saya masih bisa mengingat detailnya.
Setiap selesai bercerita tentang Abu Nawas, Papi menutupnya dengan menyanyikan syair I’tiraf. Saking menancapkan syair itu, tiap kali mendengarnya, saya selalu terlempar ke momen masa kecil dulu.
Kenangan dongeng pengantar tidur itu terbawa sampai dewasa. Bahkan syair itu yang saya pilih saat melangkah ke pelaminan dengan Lambang.
Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Ia lahir pada 145 H (747 M) di kota Ahvaz yang sekarang berada di Iran.
Ayahnya yang bernama Hani Al-Hakam, seorang legiun militer Marwan II. Ibunya bernama Jalban. Sejak kecil Abu Nawas sudah yatim. Ia dibawa ibunya ke Bashrah untuk menuntut ilmu.
Beberapa ulama tercatat menjadi gurunya. Di antaranya Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah, pada keduanya ia belajar sastra Arab.
Ia belajar Alqur’an pada Ya'qub Al-Hadrami. Belajar hadist pada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said Al-Qattan, dan Azhar bin Sa'ad As-Samman.
Tak heran, sekalipun disampaikan dengan gaya humor sufi, namun perkataan dan syairnya penuh hikmah.
Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun Al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq Al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (Sya'irul Bilad).
Abu Nawas,Nasrudin Hoja, dan Syekh Bahlul
Syair dan puisi Abu Nawas dikumpulkan dalam “Diwan Abu Nawas”. Saking masyhurnya, kitab ini diterjemahkan dalam berbagai bahasa dan diterbitkan di berbagai negara. Seperti Wina, Austria (1885), Kairo, Mesir (1860), Beirut, Lebanon (1884), India (1894).
Manuskripnya saat ini masih tersimpan di perpustakaan Berlin, Wina, Leiden, dan Mosul.
Ia bisa menuturkan semua hal melalui humor satire. Bahkan tentang kematian sekalipun. Konon, sebelum meninggal ia minta keluarganya mengkafaninya dengan kain bekas yang lusuh.
Agar kelak jika Malaikat Munkar dan Nakir datang ke kuburnya, Abu Nawas dapat mengatakan. "Tuhan, kedua malaikat itu tidak melihat kain kafan saya yang sudah compang-camping dan lapuk ini. Itu artinya saya penghuni kubur yang sudah lama."
Orang-orang dengan mata batin yang terasah dan mampu menyampaikan hikmah melalui humor, tak hanya Abu Nawas.
Di Asia Tengah ada sosok yang bernama Nasreddin Hoja atau Nasarudin Hoja dalam pelafalan orang Indonesia. Tak kalah terkenalnya dengan Abu Nawas.
Sufi bijak ini lahir di Konya, Turki. Namun semasa hidupnya berkelana hingga ke Samarkand dan sempat berjumpa dengan Amir Temur.
Dalam catatan para sufi disebutkan beberapa dialog Nasarudin dengan Amir Temur. Kecerdikannya mampu menundukkan hati Sang Amir, hingga ia diangkat menjadi penasihatnya.
Nasarudin Hoja dikenal sebagai sufi bijak yang cerdas dalam membuat lelucon, serta mengajarkan ilmu hikmah dalam memaknai kehidupan.
Salah satu yang terkenal adalah kebiasaanya mengendarai keledai dengan menghadap ke belakang dan cerita tentang ia dan anaknya yang menggendong keledai ke pasar.
Ada lagi yang tak kalah terkenal. Kalau di Indonesia, entah mengapa kata bahlul dilekatkan dengan kata bodoh. Padahal dalam bahasa Arab tidak dikenal kata itu.
Bahlul sejatinya adalah nama orang sederhana yang bijak. Semacam Kabayan kalau dalam karakter cerita lokal. Ia menyampaikan nasihat dengan gaya humor ala Abu Nawas, namun sarat hikmah.
Konon, menyampaikan kebenaran melalui humor adalah salah satu bentuk kecerdasan. Tidak semua orang bisa melakukannya. Sayangnya, yang sekarang banyak disaksikan adalah para pemimpin yang terlihat lucu, padahal tidak bermaksud melucu.
Ah, tetiba saya teringat syair indah ini. Ilahi lastu lil firdausi ahla, wa la aqwa 'ala naril jahimi, wa habli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghofirudz dzambil 'adhimi…