REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Muharram merupakan salah satu bulan yang istimewa dalam kalender Islam. Selain dikenal sebagai momentum hijrah, Muharram lekat dengan anak yatim.
Pada masa Khalifaur Rasyidin, keberadaan anak yatim ini menjadi perhatian dan tanggungan negara. Mereka ditanggung kebutuhannya dengan menggunakan kemampuan baitul mal yang didapatkan dari zakat, zakat fitrah, wakaf, jizyah (pembayaran dari non-Muslim untuk menjamin perlindungan keamanan), dan kharraj (pajak atas tanah atau hasil tanah).
Dana zakat pada masa itu disebut wajib untuk dibayarkan. Oleh karena itu, kas baitul mal cukup untuk menanggung kehidupan anak yatim. Bahkan, kas negara ini juga bisa dinikmati manfaatnya oleh orang miskin dan telantar.
“Negara kita harusnya juga begitu, Undang-Undang Dasar (UUD) mengamanahkan kita untuk merawat mereka. Tetapi, praktiknya belum berjalan," ujar Waketum MUI, Prof Yunahar Ilyas.
Yunahar pun mengkritik donatur yang menjadikan anak yatim sebagai tontonan. Ia melihat banyak donatur yang datang ke panti lalu anak-anak yatim ini dikumpulkan di suatu tempat. Menurut dia, tindakan seperti itu tidak perlu. Dalam menyerahkan bantuan pun cukup dengan peng urusnya saja.
"Semakin sering mereka dikumpulkan dan diingatkan jika mereka anak yatim, tentu mereka akan semakin sedih. Biarkanlah anak-anak ini hidup seperti biasa," ucap dia