Kamis 05 Sep 2019 23:24 WIB

Soal Kebebasan Beragama, Yenny Wahid: Masih Banyak PR

Kebebasan beragama masih menyisakan persoalan.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan / Red: Nashih Nashrullah
Anak Presiden ke-4 Republik Indonesia sekaligus Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid.
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Anak Presiden ke-4 Republik Indonesia sekaligus Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wahid Foundation kembali merilis laporan pelanggaran kemerdekaan beragama dan berkeyakinan (KBB)tahun 2018 untuk yang ke-11 kalinya. 

Dalam prosesnya ditemukan banyak data pelanggaran dan tindakan yang dilakukan oleh aktor nonnegara daripada aktor negara. "Aktor nonnegara melakukan pelanggaran lebih banyak dari pada aktor negara. Itu berbeda dari tahun sebelumnya," ujar Direktur Utama Wahid Foundation, Yenny Wahid, di Jakarta, Kamis (5/9).

Baca Juga

Menurut dia, meski laporan pelanggaran kemerdekaan beragama kerap kali dilakukan. Dalam pelaksanaannya masih banyak kasus penekanan terhadap kemerdekaan beragama tersebut.

Dia menambahkan, sepanjang 2018 jumlah pelanggaran KBB ada sekitar 192 peristiwa dan 276 pelanggaran. Jumlah pelanggaran pada 2018 nyatanya lebih tinggi dibandingkan 2017 yang hanya mencapai 265 tindakan pelanggaran. 

Kendati demikian dia menuturkan, jumlah peristiwa sepanjang 2018 sejumlah 192 tersebut lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 213 peristiwa.

"ini menjadi ukuran bahwa bangsa kita semakin dewasa. Meskipun Kami mencatat ada banyak PR yang harus diselesaikan tiap pihak," ujar dia.

Dia menegaskan, dari daftar aktor non negara, warga menjadi pelaku terbanyak dengan jumlah pelanggaran sekitar 48 sepanjang 2018. Sementara itu, di daftar aktor negara, Polres/Polresta menjadi institusi pelaku pelanggaran terbanyak dengan total sekitar 16, jumlah tersebut diikuti bupati dengan jumlah 12 kasus.

Menurut Yenny, selama 11 tahun Wahid foundation menyampaikan laporan KBB dan menjadi institusi yang pertama di Indonesia. Kendati demikian dia menegaskan, dengan adanya laporan tersebut diharapkan kemerdekaan beragama dan berekspresi selalu meningkat. Sebab sambung dia, hal tersebut akan menjadi wajah Indonesia kelak sebagai parameternya. 

"11 tahun bukan waktu yang lama tapi tidak sebentar juga, kami akan tetap berkomitmen melaksanakannya untuk kepentingan bersama," tutur anak Gus Dur itu. 

Dia memaparkan beberapa kasus pelanggaran yang masih dibiarkan hingga kini adalah, pemulihan hak pengungsi JAI di Mataram kemudian pemulihan hak pengungsi Syiah Sampang di Jawa Timur. Selain itu kasus Gereja GKI Yasmin Bogor dan penyelesaian kasus HKBP Filadelfia Kabupaten Bekasi juga perlu diperhatikan. 

Dia mengatakan, permasalahan Masjid JAI di Depok dan pelanggaran terhadap perempuan masih sering ditemui.  

Oleh karena itu, menurut Yenny, suara perempuan harus lebih diikutsertakan di berbagai lapisan. Hal itu mengingat masih banyaknya yang belum mengetahui bahwa perempuan mempunyai peran penting. 

"Di tingkat nasional sebenarnya sudah banyak tercipta kesadaran, berbeda dengan lokal. Oleh karena kita memfokuskan di tingkat lokal karena efeknya sangat besar sekali," kata dia. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement