REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Makmun Nawawi
JAKARTA -- Pada bagian-bagian awal kitab Nasha'ihul 'Ibad karya Imam Nawawi al-Bantani dituturkan tentang Imam al-Ghazali yang ditemui dalam suatu mimpi, di mana beliau ditanya, "Bagaimana perlakuan Allah terhadapmu?" Jawab al-Ghazali, "Allah mendudukkan aku di sisi-Nya, seraya bertanya, 'Karena apa Aku membawamu ke sisi-Ku?' Kemudian aku pun menyebutkan serangkaian amalku, tapi Allah menukas, 'Tidak, Aku tidak menerima semua amalan itu. Namun, amalan yang Ku-terima darimu adalah suatu hari, ketika engkau tengah menulis, tiba-tiba lalat hinggap di penamu untuk minum dawatnya. Engkau pun berhenti menulis, dan membiarkan lalat itu memenuhi kebutuhannya karena kasihan terhadapnya.' Lantas Allah Ta'ala pun menitahkan, 'Bawalah hamba-Ku ini ke surga'."
Perilaku luhur yang dicontohkan oleh Sang Hujjatul Islam ini adalah inspirasi dari hadis: "Sayangilah makhluk (orang-orang) yang ada di bumi maka makhluk yang ada di langit pun menyayangimu," (HR Thabrani).
Kasih sayang memang merupakan sifat yang terus melekat pada diri sang Mukmin, karena ia merupakan 'titisan' dari Sang Pencipta, di mana sang Mukmin perlahan-lahan ingin meniru sifat Allah, Yang membahasakan Diri-Nya dengan "kataba 'ala nafsihir-rahmah" (Dia telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang). Atau "wa rahmati wasi'at kulla syai" (dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu).
Demi mewujudkan harmoni di antara makhlukmakhluk Allah, kapan pun dan di mana pun, sifat penyayang kepada makhluk Allah ini terus menguntit sang Mukmin, jauh sebelum kita mendengar istilah Hari Bumi, atau Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Berabad-abad lamanya, Islam sudah menganjurkan umatnya agar merawat planet bumi ini, yaitu dengan menyayangi makhluk sesamanya (manusia) dan makhluk lainnya, baik tetumbuhan, hewani, atau benda mati.
Bagaimana harmoni yang harus terjalin antara kita dan alam, bisa disimak dari ungkapan Nabi ketika baru kembali dari Perang Tabuk, dan hampir mendekati Kota Madinah; sambil menunjuk ke Gunung Uhud, beliau bersabda: "Ini adalah Thabah (nama kota) dan ini Uhud, gunung yang mencintai kita dan kita pun mencintainya," (muttafaqun 'alaih). Sebuah ekspresi yang tulus dari kecintaan baginda terhadap lingkungan, baik lingkungan hidup maupun benda-benda mati.
Karena selain menenteramkan, meniru sifat penyayang Allah ini juga menjadikan seseorang merasa lebih kaya dari apa yang mereka miliki, dan merasa lebih ringan ketika didera suatu masalah.
Bahkan, ada orang yang tetap memupuk dan mempertahankan sifat kasih sayang ini, sekalipun terhadap orang yang menganiaya dirinya. Mengapa begitu? Karena ketika orang yang zalim ini menyadari kekhilafan dirinya, maka ia akan malu sendiri dan melahirkan sikap yang jauh lebih bagus dan lebih terpuji dari orang lain pada umumnya. Meski membalas kezaliman dengan sepadan juga dibolehkan. Wallahu A'lam bish-shawab.