REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Setelah menguasai ilmu hukum Islam (fikih), Al-Mawardi akhirnya memutuskan hijrah ke Baghdad untuk menimba ilmu lainnya. Ia memutuskan untuk berguru ilmu hukum, tata bahasa, dan sastra pada Syeikh Abdul Hamid Al-Isfraini dan Abdullah Al-Bafi. Berkat otaknya yang encer, dalam waktu sing kat Al- Mawardi pun telah menguasai beragam ilmu, seperti hadis, fikih, politik, filsafat, etika, dan sastra.
Alboacen. Begitu peradaban Barat biasa menyebut pemikir dan pakar ilmu politik termasyhur di era Kekhalifahan Abbasiyah ini.
Ilmuwan legendaris di abad ke-10 M itu diakui dunia sebagai salah seorang peletak dasar keilmuan politik Islam. Gagasan dan pemikirannya tentang ilmu politik yang dituangkan dalam bukunya yang amat fenomenal berjudul, Al-Ahkam al- Sultania w’al-Wilayat al-Diniyya, hingga kini masih tetap diperbincangkan.
Selain menguasai ilmu politik, inte lektual Muslim bernama Al-Mawardi ini juga dikenal sebagai ahli hukum, pakar ilmu hadis, serta sosiolog Muslim terkemuka. Ia sempat mengabdikan dirinya menjadi ahli hukum di sekolah fikih.
Dalam bidang ini, sang pemikir Muslim itu melahirkan dasar-dasar yurisprudensi yang reputasinya begitu monumental bertajuk, Al-Hawi, yang terdiri atas 8.000 halaman.
Kemampuannya dalam bidang hukum yang begitu mumpuni membuat Al-Mawardi berkali-kali diangkat sebagai hakim (qadhi) di berbagai provinsi. Ke lihaiannya dalam melakukan lobi-lobi politik juga membuat khalifah mendau latnya sebagai duta keliling pemerintahan Abbasiyah.
Ketika situasi politik kenegaraan bergolak, Al-Mawardi pun tampil sebagai tokoh pemersatu. Sebagai seorang pemikir yang independen, Al- Mawardi terus menyuara kan mediasi antara dua kekuatan yang bertikai pada zamannya, yakni pemerintahan Abbasiyah dan militer Syiah Buyid.
Ia tak memihak pada satu kubu, melainkan tampil sebagai tokoh yang netral. Tak salah, jika seorang orientalis menyebut ulama penganut madzhab Syafi’i bernama lengkap, Abu al Hasan Ali bin Habib Al-Mawardi, ini sebagai Khatib of Baghdad.