Selasa 03 Sep 2019 21:33 WIB

Kontroversi M Syahrur, Rujukan Disertasi Seks tanpa Nikah

Muhammad Syahrur dikenal kontroversial di negara asalnya, Suriah.

Rep: Umar Mukhtar/ Iit Septyaningsih / Red: Nashih Nashrullah
Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Yunahar Ilyas
Foto: Republika TV/Muhammad Rizki Triyana
Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Yunahar Ilyas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Disertasi Abdul Aziz, mahasiswa program doktoral UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, memicu polemik. Disertasi tersebut merujuk pada pemikiran Muhammad Syahrur, cendekiawan asal Damaskus, Suriah.  

Siapakah Syahrur? Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof Yunahar Ilyas, menjelaskan Syahrur di negaranya, Suriah, sebetulnya sudah disebut sesat menyesatkan. Bahkan ulama besar yang negara dengannya, Syekh Wahbah Zuhaili, juga menyebut Syahrur sesat dan menyesatkan. Syekh Zuhaili menyampaikannya pada waktu berkunjung ke Yogyakarta.

Baca Juga

"Waktu ke Yogyakarta, ditanya soal Syahrur, beliau (Syekh Zuhaili) mengatakan bahwa Syahrur itu sesat dan menyesatkan. Jadi pikiran Syahrur ith berangkat dari bahasa, utak-atik bahasa, pendiriannya bahwa tidak ada sinonim dalam bahasa arab," jelasnya di kantor MUI, Jakarta, Selasa (3/9).

Lalu, Yunahar melanjutkan, dari situlah Syahrur mengembangkan pemikirannya dengan memasukkan pendekatan filsafat dan humanisme. "Jadi ada tiga (dasar pemikiran Syahrur), yakni bahasa, filsafat, dan humanisme," imbuhnya.

Yunahar menambahkan, bagi Syahrur, sumber hukum atau sumber moral agama adalah tanzilul hakim (mendegradasi otoritas). Syahrur tidak memakai sebutan Alquran, meski memang maksudnya adalah Alquran. Syahrur juga memandang bahwa sumber hukum itu hanya Alquran, dan dia tidak mau terikat dengan hadis Nabi Muhammad.  

"Jadi Alquran langsung. Sebab (menurut Syahrur), praktik Islam selama 10 tahun di Madinah zaman Nabi itu tidak bisa dilaksanakan untuk sepanjang zaman. Dia enggak peduli kitab turas, kitab ulama-ulama Imam Hanafi, Imam Syafi'i, Imam Hanbali, yang sudah menyusun struktur agama Islam, itu dia enggak peduli," ungkap dia.  

Cara penelaahan Syahrur yang langsung ke Alquran itu, tutur Yunahar, bermodalkan bahasa, filsafat, dan humanisme. "Karena itu, bagi orang yang sudah pernah memelajari Syahrur, tentu tidak akan heran kalau Syahrur punya pendapat seperti itu," papar dia.

Hal lain yang diutak-atik Syahrur, yaitu rukun Iman dan rukun Islam. Yunahar menuturkan, bagi Syahrur, yang benar dari rukun Islam itu hanya mengucapkan kalimat 'Asyhadu allaa ilaaha Illallah', tanpa kesaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Menurut Syahrur, 'Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah itu bukan bagian dari rukun Islam.

"Sementara shalat, zakat, puasa, haji itu bagian dari rukun iman. Pokoknya sudah di aduk-aduk. Nah apalagi masalah perkawinan," ujarnya.

Yunahar juga menjelaskan soal mil kullil yamin. Ini artinya budak, di mana pada zaman dulu sebelum Islam datang, perbudakan itu merajalela. Lalu Islam mencoba untuk menghapusnya sedikit demi sedikit.

"Dengan apa? coba perhatikan, kafarat (pengganti) dan denda-denda itu salah satunya adalah membebaskan budak. Kemudian, amal yang baik adalah membebaskan budak. Dikasih contoh oleh Nabi, sehingga dengn sendirinya, perbudakan itu hilang sehingga tidak ada lagi konsep milk al-yamin," imbuhnya.

Kemudian, Yunahar menuturkan, Abdul Aziz merujuk pada Syahrur dalam disertasinya dan mencoba menafsirkan konsep milk al-yamin itu dengan konteks sekarang. 

"Dia (Syahrur) ingin mengganti konsep milk al-yamin itu dengan hubungan seksual di luar pernikahan atas dasar suka sama suka," ucapnya seraya mengatakan bahwa konsep milk al-yamin itu sudah tidak ada lagi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement