REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tanggal 1 Muharram sebagai patokan awal penanggalan Islam merujuk pada peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 Masehi. Peristiwa hijrah menjadi tonggak sejarah penting perkembangan peradaban Islam hingga ke seluruh muka bumi.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Hukum, HAM dan Perundang-undangan KH Robikin Emhas menerangkan, setelah terjadi peristiwa Fathu Makkah atau pembebasan Makkah pada tahun 630 Masehi, semangat yang melatari hijrah praktis berakhir. Kota Makkah yang sebelumnya ditinggalkan karena dianggap tidak ramah bagi dakwah Islam, kini berubah karena kemuliaan akhlak Nabi Muhammad SAW.
Pada peristiwa Fathu Makkah, penduduk quraisy yang lekat dengan kesombongan dan jahiliyah tidak dipersekusi. Justru penduduk quraisy dilindungi, itulah spirit baru pascahijrah praktis. "Hijrah kemudian diartikan sebagai perjuangan meninggalkan hal-hal buruk ke arah yang lebih baik. Hijrah dalam konteks ini adalah sebuah proses menjalani kehidupan," kata KH Robikin kepada Republika.co.id, Sabtu (31/8).
Menurutnya, hijrah adalah sebuah perjalanan kehambaan yang senantiasa membutuhkan panduan, keteguhan dan istiqomah. Hijrah tidak direduksi maknanya menjadi idiom simbolik, misalnya hanya dengan berhijab.
Maka dalam menyambut dan merayakan tahun baru Islam, PBNU mengajak umat menjadikan 1 Muharram sebagai momentum untuk memperbaiki kualitas kehambaan diri di hadapan Allah SWT. Renungkan, sudahkah diri ini menanamkan akidah dengan benar, melaksanakan ibadah dengan baik dan menunjukkan perangai yang beradab.
Ia juga mengingatkan, tahun baru Islam merupakan momentum memperbaiki kualitas kemanusiaan. Renungkan, sudahkah diri ini mengamalkan konsep persaudaraan sesama manusia tanpa memandang suku, agama dan jenis identitas lain sebagaimana diajarkan Kanjeng Nabi.
"Sudahkah kita peduli pada tetangga, sanak keluarga dan saudara-saudara kita sebangsa, setanah air dan sesama warga dunia," ujarnya.
Untuk saudara-saudara seiman, KH Robikin ingin saling mengingatkan bahwa menjadi hamba yang baik adalah proses kehambaan yang terus menerus, berkelanjutan dan tiada berujung. Menjadi baik itu satu hal, tapi istiqomah dalam kebaikan itu juga satu hal tersendiri yang tidak mudah. Namun harus terus diikhtiarkan.
Ia menerangkan, menjadi hamba-hamba pilihan atau yang di dalam Alquran diidealkan dengan sebutan ulul albab, bukanlah proses sederhana. Itu bukan persoalan dua kutub yang bisa ditunaikan cukup dengan hijrah dari satu kutub ke kutub lainnya. Artinya harus itiqomah dalam jenis kebaikan satu dan meraih jenis kebaikan lain tanpa meninggalkan kebaikan sebelumnya.
"Menjadi hamba pilihan adalah sebuah perjalanan, ia membutuhkan tahapan-tahapan, dilakukan dengan niat yang bersih dan panduan ilmu," ujarnya.
KH Robikin mengajak umat untuk menyambut 1 Muharram 1441 Hijriyah dengan semangat baru. Ia juga mengajak memperkuat akidah tanpa merendahkan pemeluk agama lain.
"Kami juga memberi perhatian terkait memanasnya kasus bernuansa rasial di Papua, di momentum yang baik ini, saya mengajak semua pihak, mari kita teguhkan kembali sikap saling menghargai dan saling menghormati sesama anak bangsa," kata KH Robikin.
Ia mengatakan, peristiwa yang memicu ketersinggungan saudara-saudara di Papua merupakan sebuah ujian berbangsa yang harus dihadapi serta disikapi secara tenang dan dewasa. KH Robikin merasa perlu mengingatkan kepada semua sesama anak bangsa, bahwa persatuan dan kehidupan harmoni adalah kebutuhan semua warga bangsa. Suatu kebutuhan kodrati layaknya setiap individu manusia membutuhkan oksigen, makanan dan minuman.