Jumat 30 Aug 2019 21:43 WIB

3 Saran Muhammadiyah untuk Penyelesaian Krisis Papua

Muhammadiyah menilai penyelesaian Papua tidak bisa militeristik.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Nashih Nashrullah
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Muti, halal bi halal dengan seluruh jajaran Muhammadiyah pusat maupun daerah di Gedung Pusat Muhammadiyah, Senin (17/6).
Foto: Republika/Rahma Sulistya
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Muti, halal bi halal dengan seluruh jajaran Muhammadiyah pusat maupun daerah di Gedung Pusat Muhammadiyah, Senin (17/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu'ti, menilai selama ini masalah Papua cenderung diselesaikan dengan pendekatan militer. Pada ranah tertentu pendekatan militer tidak dapat dihindari. 

Menurut Mu'ti, jika melihat kompleksitas masalah di Papua, maka diperlukan berbagai pendekatan lainnya. Pertama, perlu pendekatan sosial-budaya. Ada dua langkah yang dapat dilakukan. 

Baca Juga

"Langkah pertama mendorong integrasi sosial antara suku-suku asli Papua serta (integrasi) antara pendatang dan orang asli (Papua)," kata Mu'ti kepada Republika.co.id, Jumat (30/8).  

Dia menerangkan, langkah kedua, perlu melakukan revolusi mental orang Papua. Sebab sebagian masalah Papua berakar pada mentalitas terutama etos kerja dan spirit kemajuan. Penguatan kapasitas, kecakapan hidup dan karakter masyarakat Papua sangat mendesak. 

Sementara, integritas sosial-budaya dapat dilakukan melalui pendidikan, ekonomi, dan partisipasi masyarakat sipil. Selain itu yang tidak kalah pentingnya, pelibatan organisasi keagamaan melalui dialog dan kerjasama antariman sangat diperlukan di Papua. Terutama tiga kelompok agama di Papua di antaranya Islam, Kristen, dan Katolik. Para aktivis HAM dan gerakan sosial juga tidak kalah penting perannya.

"Kedua, (solusinya perlu melakukan) pendekatan politik. Otonomi khusus di Papua tampaknya perlu dievaluasi karena mengarah pada konfrontasi dan kontestasi antarsuku-suku asli dan suku-suku lain serta suburnya korupsi pejabat daerah," ujarnya.

Mu'ti menjelaskan, yang ketiga, perlu memperkuat diplomasi. Beberapa negara mengangkat masalah Papua ke level PBB. Papua benar-benar menjadi masalah serius diplomasi di tengah capaian demokrasi dan HAM di Indonesia.

Menurutnya, penguatan diplomasi publik yang telah dikembangkan Kementerian Luar Negeri dapat diperluas dengan memfasilitasi jalinan masyarakat. Juga diperlukan lebih banyak suara sahabat Indonesia, baik dari kalangan peneliti, akademisi, maupun politisi.

Dia menegaskan, masalah Papua tidak sederhana. Sebab tidak sedikit darah para pahlawan yang tumpah dan triliunan rupiah yang ditanamkan di Papua agar tetap menjadi bagian ibu pertiwi. "Trauma lepasnya Timor Timur masih belum sirna, jangan sampai trauma bertambah karena lepasnya Papua dari peta Indonesia," ujarnya.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement