REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebelum dilahirkan ke dunia, manusia membuat perjanjian dengan Allah SWT yang menciptakannya bahwa ia akan hidup di dunia dan mengabdi kepada-Nya. Ia bersedia memegang amanah sebagai khalifah di muka bumi. Namun, banyak manusia yang lupa akan ikrar tersebut dan berjalan jauh dari tuntunan-Nya. Padahal, Allah SWT telah mengingatkan manusia dalam Alquran mengenai tujuan penciptaan manusia. ''Dan, aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku.'' (QS Aldzariyat [51]: 56).
Apakah itu berarti kita harus beribadah sepanjang hari, sepanjang waktu, setiap detik yang kita lalui? Ya, tentu saja. Karena, kita akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan kita kelak. Demikian berharganya waktu, Allah SWT pun bersumpah demi waktu. ''Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal soleh serta nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.'' (QS Al Ashr [103]: 1-3).
Meski begitu, tidak berarti kita harus shalat terus-menerus sepanjang waktu, puasa tanpa berbuka, atau membaca dan menghapal Alquran sepanjang hari atau beribadah ritual lainnya setiap saat. Karena, ibadah tak hanya diartikan sebagai kegiatan ritual semata, tapi juga kegiatan sosial dan muamalah. Kita bekerja, berdagang, belajar, memasak, mencuci piring, bahkan mandi setiap hari juga sebagai ibadah jika memang diniatkan demikian. Bukankah segala perbuatan akan dinilai oleh Allah SWT bergantung pada niatnya?
Mengapa kegiatan-kegiatan yang berorientasi kehidupan dunia disebut ibadah? Karena, demikianlah Allah memerintahkan, hidup manusia haruslah seimbang. Allah menciptakan siang untuk bekerja dan malam untuk beristirahat. Allah juga menyuruh manusia untuk menikah dan berketurunan. Dia memberikan tuntunan bagi manusia untuk bermuamalah dengan sesama manusia, baik orang tua, anak, tetangga, maupun fakir miskin. Semua tuntunan itu sudah lengkap dalam Alquran.
Karena itu, umat Islam hendaknya senantiasa menyelaraskan kehidupan duniawinya dengan kebutuhan hidup akhiratnya agar ia menjadi orang yang beruntung. Tak hanya di dunia, tetapi yang lebih penting lagi kelak di kampung akhirat, tempat kembali yang kekal bagi setiap manusia. Wallahu alam bishawab. n