Rabu 28 Aug 2019 17:31 WIB

RUU Pesantren Disahkan September, Ini Catatan RMI-NU

RMI-NU mengingatkan RUU Pesantren jangan sampai justru merugikan pesantren.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Nashih Nashrullah
[ilustrasi] Sekolompok santri di sebuah pondok pesantren di Jawa Timur.
Foto: EPA/Fully Handoyo
[ilustrasi] Sekolompok santri di sebuah pondok pesantren di Jawa Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Setelah menggelar rapat panitia kerja (panja) dengan Forum Komunikasi Pondok Pesantren (FKPP) pada Senin (26/8), Komisi VIII DPR RI menggelar audiensi dengan perwakilan ormas Islam pada Selasa (27/8). Pertemuan yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, itu membahas Rancangan Undang-undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Agama.  

Rapat itu dihadiri oleh asosiasi pesantren dari ormas Islam PBNU, PP Muhammadiyah, PP Persis, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), dan Al Wasliyah.

Baca Juga

Ketua Umum Pimpinan Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (PP RMI NU/ Asosiasi Pesantren Indonesia-NU), KH Abdul Ghofarrozin, mengatakan dalam rapat itu mereka meminta agar RUU tersebut tidak mengintervensi ruang gerak pesantren. Dia mengatakan, ada beberapa pasal yang berpotensi digunakan untuk mengintervensi pesantren dan mengebiri kemandirian pesantren untuk mengatur dirinya sendiri. 

Misalnya, kata dia, pada pasal 20 atas nama penjaminan mutu, pemerintah melalui kementerian agama dapat mengatur  konten dan ukuran kualitas pesantren. 

Padahal, dia berpandangan semangat RUU seharusnya adalah membuat pesantren dapat mengatur diri sendiri, termasuk mengatur kualitas pendidikannya sendiri. Dalam hal ini, menurutnya, lembaga seperti Dewan Masyayikh (Dewan Ulama Senior) lebih relevan.

"Posisi pemerintah hanya memfasilitasi kerja badan tersebut, bukan mengaturnya. Contoh lain adalah pasal 32-34, jika tidak hati-hati, maka pemerintah atas nama pembinaan kepada pesantren berpotensi melakukan pemaksaan tertentu kepada pesantren," kata ustaz yang kerap disapa Gus Rozien ini, melalui pesan elektronik kepada Republika.co.id, Rabu (28/8). 

Dia menilai RUU Pesantren belum menjadi jembatan bagi pesantren untuk menghadapi masalah-masalah strategis pesantren dan bangsa. Misalnya, terkait dengan tantangan Revolusi Industri 4.0 dan bagaimana turut serta dalam upaya pencapaian target SDGs.

Selain itu, dia berpandangan bahwa RUU tersebut belum mengembangkan imajinasi agar pesantren dapat berperan besar untuk mendorong Indonesia sebagai kiblat Islam Moderat di dunia.

Sementara itu, Gus Rozien, begitu akrab disapa, mengatakan semangat yang ada dalam RUU Pesantren adalah pesantren sebagai obyek atau sasaran program penguatan kelembagaan oleh negara. Sehingga, posisi pesantren lemah di depan negara. 

Padahal, dia menekankan seharusnya pesantren juga dalam posisi sebagai subyek pembangunan dan pencapaian cita-cita bernegara. "Dalam hal ini posisi pesantren seharusnya bermitra dengan negara," ujarnya.

Sementara itu, Gus Rozien juga menilai partisipasi pesantren dan ormas Islam masih sedikit dalam proses pembahasan di Panja DPR. Selain itu, kata dia, waktu bagi pembahasannya juga sempit dan terkesan terburu-buru.

Padahal, RMI NU, menurutnya, tidak sedang dalam posisi yang benar-benar terdesak untuk harus segera mengesahkan RUU. "Kualitas dan hal-hal yang sangat strategis harus menjadi prioritas. Kami berharap RUU Pesantren dapat mengakomodir masukan-masukan tersebut," tambahnya. 

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Marwan Dasopang, mengatakan RUU Pesantren dan Pendidikan Agama tidak akan merugikan pesantren. Menurutnya, RUU itu justru akan memperjuangkan hak-hak pesantren. Politisi PKB ini juga menegaskan RUU tersebut diusahakan segera disahkan sebelum periode 2014-2019 selesai pada akhir September mendatang. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement