Senin 26 Aug 2019 05:03 WIB

Kesempurnaan Alquran Atas Kitab Suci Agama Samawi

Mari kita tinjau tentang kesempurnaan Alquran atas kitab suci lainnya.

Pembuatan bahtera Nabi Nuh (ilustrasi).
Foto:
Pembuatan bahtera Nabi Nuh (ilustrasi).

Kajian linguistik terhadap teks Quran memang tidak banyak dilakukan banyak orang. Padahal studi keilmuan dalam ranah kebahasaan sangatlah penting dalam memahami teks apapun, termasuk teks Quran sebagai teks yang disakralkan. Apalagi teks Quran merupakan "interne evidenti" yang sebenarnya bisa dikembangkan pengkajiannya berdasarkan studi linguistik Arab kuno.

Hal ini memang tidak mudah karena saat ini kita ternyata dihadapkan pada 2 kendala utama, (1) sakralitas teks Quran sebagai kitab suci yang "taken for granted", diterima apa adanya, (2) keterbatasan referensi kajian kebahasaan terkait bahasa Semit.

Ada 4 karya penting yang saya baca utk memulai kajian sub-tema ini, terutama bila ditilik berdasarkan studi linguistik Arab kuno, pertama, kitab yang berjudul مجمع البحرين من الفينيقية الى العربية: دراسة مقارنة في المعجم واللغات العروبية السامية (Mu'jam al-Bahrain min al-Finiqiyyah ila al-'Arabiyyah: Dirasah Muqaranah fi al-Mu'jam wa al-Lughat al-'Urubiyyah al-Samiyyah) karya Prof. Ahmad Shahlan, jebolan Universite Sourbone, Perancis; buku ini diterbitkan di Marocco, Rabat, 2009. Kedua, buku yang berjudul "Die El-Amarna-Tafeln mit Einleitung und Erlauterungen" karya JA. Knudtzon (Leipzig, Aalen: Otto Zeller Verlagsbuchhandlungen, 1964).

Ketiga, sebuah artikel karya A. Neubauer berjudul "Notice sur la lexicographie hebraique", journal Asiatique, decembre 1861. Keempat, buku berjudul ספר המשקלים מחקרים במשקל העברי ומאמרים בשאלות הלשון (Sefer Hamiskhkalim: Studies in Hebrew Philology) karya Rabbi Solomon Rabinowitz (New York, 1947).

Dalam rangka kajian sub-tema tersebut yang dikaitkan dengan studi linguistik Arab kuno, maka penelusuran kebahasaan melalui studi bahasa-bahasa Semit memang sangat penting dan menarik. Tentu saja hal ini dapat dikaji dengan cara merujuk pada kajian teks-teks kuno yang termaktub dalam berbagai inskripsi berbahasa Akkadia atau pun berbahasa Funesia, serta berbagai kajian manuskrip berbahasa Ibrani hingga berbahasa Arab kuno. Kita juga bisa melakukan eksplorasi kajian bertema utama itu dengan cara merujuk pada studi leksikografi, filologi dan perbandingan leksikon bahasa-bahasa serumpun.

Berkaitan dengan sub-tema tersebut, saya akan memulai pembahasan berdasarkan pada analisis kata Arab kuno بشر (basysyar) yang salah satunya bermakna بشره بمولد (basysyarahu bi mawlidin), yakni "joyful with the message of the birth of a son" (berita gembira tentang kelahiran seorang putera), yang term tersebut ternyata sejajar dengan kata בשר (bissar) dalam bahasa Ibrani. Term بشر dalam bahasa Arab kuno atau pun term בשר dalam bahasa Ibrani keduanya merupakan interne evidenti sebagai "jejak kebahasaan klasik" dalam teks keagamaan yang diturunkan dari induk bahasa Semit.

Bila term בשר telah termaktub dalam manuskrip the Dead Sea Scrolls (naskah Laut Mati), berarti minimal term בשר ini telah bertahan dan digunakan dalam tuturan dan teks tertulis selama 900 tahun hingga munculnya istilah بشر dalam teks Quran pada Abad ke-6 M. Fakta historio-linguistik term tersebut sebagaimana yang termaktub dalam manuskrip Qumran sejak Abad ke-3 SM. Each word has its own history (setiap kata memiliki sejarahnya sendiri). Itu berarti setiap kata dalam konteks ini bisa dikaji secara filologis dan studi linguistik historis.

Term بشر (basysyar) ini sangat khas secara linguistik. Bila term بشر (baysyar), lit. "berita gembira", bertemu dengan term غلام (ghulam), lit. "anak", maka dapat dipastikan bahwa makna sintaksis dari term بشر (basysyar) tersebut bermakna "berita gembira ttng kelahiran", dan bukan sekedar "berita gembira" saja. Pada Qs. ash-Shaffat 37:101 membuktikan tentang adanya makna "berita kelahiran" tersebut. Hal serupa dapat dijumpai pada teks Tanach, khususnya kitab Yeremia 20:15, terkait kata בשר (bissar) yang mengacu pada makna "berita gembira tentang kelahiran", bandingkan pula dengan kata "basysyuru" dalam bahasa Assyiria.

Berdasar pada QS. ash-Shaffat 37:101, pada ayat ini memang tidak dicantumkan nama anak yang dijadikan qurban oleh Abraham, tetapi bukan berarti hal ini tidak bisa diketahui siapa identitas nama sebenarnya dari anak yang dimaksud tersebut.

Dalam teks Quran, term بشر (basysyara) yang bertemu dengan الاسم (nama tertentu) juga dapat dipastikan secara sintaksis bahwa konteksnya selalu bermakna "berita gembira tentang kelahiran" seseorang yang dimaksud, misalnya frase يبشرك بيحيى (yubasysyiruka bi Yahya), lit. "Dia memberikan berita gembira tentang kelahiran Yahya kepadamu" (Ali Imran 3:39). Begitu juga frase يبشرك بكلمة منه اسمه المسيح عيسى (yubasysyiruki bi kalimatin minhu ismuhu Al-Masih Isa), lit. "Dia memberikan berita gembira tentang kelahiran dengan firman-Nya bernama Al-Masih Isa" (Ali Imran 3:45).

Begitu juga frase فبشرنها باسحاق (fabasysyarnaha bi Ishaq), lit. "maka Kami beritakan kabar berita tentang kelahiran Ishaq" (Hud 11:71). Lihatlah perikop dalam Quran Terjemahan Indonesia, yang berjudul "Kisah Nabi Ibrahim As dan Nabi Luth As (QS. Hud 11:69-71).

وَلَقَدْ جَآءَتْ رُسُلُنَاۤ اِبْرٰهِيْمَ بِالْبُشْرٰى قَالُوْا سَلٰمًا ؕ قَالَ سَلٰمٌ فَمَا لَبِثَ اَنْ جَآءَ بِعِجْلٍ حَنِيْذٍ

فَلَمَّا رَاٰۤ اَيْدِيَهُمْ لَا تَصِلُ اِلَيْهِ نَـكِرَهُمْ وَاَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيْفَةً ؕ قَالُوْا لَا تَخَفْ اِنَّاۤ اُرْسِلْنَاۤ اِلٰى قَوْمِ لُوْطٍ ؕ

وَامْرَاَ تُهٗ قَآئِمَةٌ فَضَحِكَتْ فَبَشَّرْنٰهَا بِاِسْحٰقَ ۙ وَمِنْ وَّرَآءِ اِسْحٰقَ يَعْقُوْبَ

"Dan para utusan Kami (para malaikat) telah datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan, "Selamat." Dia (Ibrahim) menjawab, "Selamat (atas kamu)." Maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang. Maka ketika dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, dia (Ibrahim) mencurigai mereka, dan merasa takut kepada mereka. Mereka (malaikat) berkata, "Jangan takut, sesungguhnya kami diutus kepada kaum Lut." Dan istrinya berdiri lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya kabar gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan setelah Ishaq (akan Kami berikan kabar gembira tentang kelahiran) Ya'qub."
[QS. Hud: Ayat 69-71]

Dengan demikian, frase فبشرنها باسحاق (fa basysyarnaha bi Ishaqa) pada QS. Hud 11:71 maknanya sejajar dengan QS ash-Shaffat 37:112 yang juga terdapat frase yang berbunyi وبشرنه باسحاق (wa basysyarnahu bi Ishaqa). Jadi pada pembahasan sub-tema ini, yakni setelah peristiwa qurban itu dilakukan, maka selanjutnya Abraham mendapat berita bahagia tentang kelahiran Ishaq. Hal ini juga dapat dipastikan bahwa QS. ash-Shaffat 37:112 bermakna "berita gembira tentang kelahiran" Ishaq, dan bukan "berita gembira" tentang kenabian Ishaq. Hal ini secara sintaksis dapat dikenali berdasarkan konteks, dan hal ini ditandai adanya bertemunya dua kata kunci, yakni term بشر (basysyara) dengan الاسم (sang nama), yakni nama Ishaq pada ayat ke-112 tersebut.

Dua kata kunci itu saling berpasangan, yakni pasangan 2 kata kunci بشر + (ب) غلام atau pasangan 2 kata kunci بشر + (ب) الاسم yang saling menggantikan, dan pasangan 2 kata kunci itu dalam penggunaannya tidak pernah muncul dalam satu frase atau pun dalam satu kalimat. Inilah keunikan gramatika Arab kuno khususnya, yang juga muncul dalam teks-teks berbahasa Arab pada era berikutnya, misalnya sebagaimana yang termaktub dalam gramatika Alkitab berbahasa Arab khas Kristen.

Teks kitab suci Quran secara jelas menyatakan bahwa sang putera yang diqurbankan oleh Abraham (Ibrahim) adalah sang putera yang lahir sebelum Ishaq dilahirkan. Bila qurban dilaksanakan sebelum Ishaq dilahirkan, maka qurban itu terkait dengan putera Abraham yang pertama, yang disebut غلام حليم (ghulam khalim), yakni Ishmael.

Sebaliknya, Torah dan Bible menyebutkan bahwa sang putera yang diqurbankan oleh Abraham itu bernama Ishaq. Dalam konteks ini, Quran telah mengoreksi narasi Bible terkait tentang siapa yang dijadikan qurban.

B'rit Milah dan Millah Ibrahim: Relevansinya dengan Qurban Abraham dalam Quran

Kitab Hadits merupakan kitab sumber otoritas kedua setelah Quran dalam ajaran agama Islam, sebagaimana kitab Midrash Rabbah sebagai תורה שבעל-פה (Torah she be 'alphe) merupakan kitab sumber otoritas kedua setelah kitab Chumash sebagai תורה שבכתב (Torah she bichtav) dalam agama Yahudi.

Teks matan hadits versi Islam yang berkaitan dengan siapa yang akan dijadikan qurban memang disebutkan adanya 2 versi penyebutan nama, sebagaimana teks midrash agada versi Yahudi juga menyebutkan adanya 2 versi tentang usia sang putera, saat dia akan dijadikan qurban. Bahkan, ada 2 versi kitab Chumash (Torah she bichtav) yang menyebutkan adanya 2 versi nama lokasi atau tempat qurban yang berbeda, sebagaimana yang disebutkan antara versi teks kitab Torah Samaritan dan versi teks kitab Torah Masoret (Masorah).

Jadi, berkaitan dengan identitas nama sang putera yang dijadikan qurban oleh Abraham menurut teks matan hadits, memang ada 2 versi yakni disebutkan nama Ishmael dan nama Ishaq. Meskipun dalam kitab Chumash (Torah she bichtav) tertulis nama Ishaq, tetapi dalam teks midrash agada (Torah she be 'alphe) ternyata juga disebutkan adanya 2 versi usia Ishaq saat dijadikan qurban, yakni usia 37 tahun dan usia 5 tahun.

Bahkan, Torah she bichtav (the Chumash) menyebutkan adanya 2 versi nama lokasi atau nama tempat yang berbeda saat Ishaq akan dijadikan qurban oleh Abraham, yakni tanah Moreh dan tanah Moriah. Dengan kata lain, sebagaimana yang termaktub pada teks versi hadits, yang pertama menyebutkan nama Ishmael, dan yang kedua menyebutkan nama Ishaq. Jadi hadits menyebutkan tentang siapa yang akan dijadikan qurban oleh Abraham memang berbeda-beda, sebagaimana adanya kontroversi tentang umur (usia) Ishaq saat dijadikan qurban oleh Abraham juga berbeda-beda, dan bahkan identitas nama lokasi atau nama tempat saat Ishaq akan dijadikan qurban oleh Abraham juga berbeda-beda.

Perbedaan mengenai identitas nama sang putera, keakuratan usia dan identitas nama lokasi terkait peristiwa qurban memang merupakan 3 hal yang amat kontroversial dalam teks kitab Hadits, kitab Chumash (Torah she bichtav) dan kitab Midrash Rabbah (Torah she be 'alphe). Hal inilah yang tidak dipahami atau sengaja tidak diuraikan oleh Bambang Noersena dalam paparannya.

Bambang Noorsena, pendiri Institute for Syriac Christian Studies (ISCS) memang sengaja "menyerang" atau mempersoalkan sisi perbedaan teks matan hadits terkait dengan qurban, sebagaimana yang termaktub dalam kitab Hadits, tetapi Bambang Noersena sengaja "tidak menyerang" atau tidak mempersoalkan sisi perbedaan teks midrash agada terkait dengan qurban, sebagaimana yang termaktub dalam Midrash Rabbah. Bahkan, Bambang Noersena juga "tidak menyerang" atau tidak mempersoalkan sisi perbedaan teks Chumash (Torah she bichtav) terkait perbedaan qurban. Anda bisa melihat perbedaan teks Sefer Bereshit 22:2 antara teks Torah versi Masorah (Masoret) dan teks Torah versi Samaritan; versi pertama menyebut מריה (Moriah), sedangkan versi kedua menyebut מרה (Moreh). Torah versi Masorah menyebut מריה (Moriah) merujuk pada lokasi sakral di bukit Zion, di kota Yerusalem, wilayah Israel bagian selatan; sedangkan Torah versi Samaria menyebut מרה (Moreh) merujuk pada lokasi sakral di bukit Gerizim, di kota Nablus, wilayah Israel bagian utara. Keberadaan bukit Gerizim ini termaktub dalam Torah versi Samaria dan Torah versi Masorah, dan penyebutan nama kota Nablus di kawasan Moreh tersebut juga termaktub dalam Targum Aravit (Judeo-Arabic Targum), yakni sebuah Targum dan Tafsir tertua versi bhs Arab dalam tradisi agama Yahudi, sebuah karya "magnus opus" dari Rabbenu Saadia Gaon (Rasag).

Padahal kota Sikhem dalam teks aslinya yang berbahasa Ibrani justru tertulis עיר שכם ('ir Shechem), lit. "kota Sikhem." Meskipun demikian, penyebutan kota Nablus itu merupakan bentuk Arabisasi dari nama kuno kota dari bhs Ibrani, yang disebut kota Sikhem. Lihatlah Targum Aravit karya Rasag, khususnya Sefer Bereshit 33:18 tertulis:

ת'ם ודכ'ל יעקוב סאלמא אלי קריה נאבלס אלתי פי אלבלד כנעאן

"tsumma dakhala Ya'kub saliman ila qaryah Nablus allati fi al-balad Kan'an." (Kemudian Yakub memasuki dengan selamat menuju ke kota Nablus), see J. Derenbourg. Tafsir al-Tawrah bi Al-'Arabiyyah: Version Arabe du Pentateuque de R. Saadia ben Iosef Al-Fayyoumi (Paris: Ernest Leroux, Editeour, 1893), pp. 54-55

Abu Al-Hasan Ishaq ash-Shuri, adalah seorang Kahin (Imam) dari agama Israel Samaritan, pemimpin tertinggi kaum Samaria. Abu Al-Hasan Ishaq ash-Shuri telah menerjemahkan kitab suci Torah Samaritan dari bahasa Ibrani ke bahasa Arab. Menurutnya, sebutan kota Nablus merupakan nama Arab dari kota Sechem versi teks Torah Samaritan. Lihat Sefer Bereshit 33:18 teksnya tertulis demikian.

جاء يعقوب سالما الى مدينة نابلس التي في ارض كنعان

"ja-a Ya'kub saliman ila madinah Nablus allati fi ardhi Kan'an." (Yakub telah datang dengan aman menuju ke kota Nablus yang terletak di tanah Kanaan), see Al-Kahin as-Samiri Abu Al-Hasan Ishaq ash-Shuri. At-Tawrah as-Samiriyyah: Tarjamah min Al-'Ibraniyyah ila Al-'Arabiyyah (Al-Qahirah: Dar Al-Jil, 2007), p.68

Dengan demikian, nama kota Sechem dalam bahasa Ibrani memiliki nama Arab dengan sebutan Nablus. Hal ini bukanlah sebuah kesalahan terjemahan yang fatal dari sebuah interpretasi gegabah dari Rabbenu Saadia Gaon. Penyebutan versi Arab tersebut pasti merupakan ingatan kolektif yang diakui bersama yang berasal dari tradisi kaum Yahudi dan kaum Samaria. Bahkan, Imam tertinggi kaum Samaria juga telah memahami nama kota itu dengan sebutan yang sama. Bukti tekstual ini merupakan fakta yang tidak bisa dibantah oleh siapapun.

Kota שכם (Shechem) di kawasan מרה (Moreh) ini bukan hanya dikenal di zaman Yakub, tetapi kota שכם (Shechem) di kawasan מרה (Moreh) ini justru telah dikenal oleh Abraham sejak awal kedatangannya di wilayah Kanaan. Silakan Anda cermati teks Sefer Bereshit 12:6. Menariknya, Rabbenu Saadia Gaon dan Al-Kahin Abu Al-Hasan Ishaq ash-Shuri ternyata sama-sama menerjemahkan sebutan kota Shechem dengan nama Arabnya, yakni kota Nablus.

Rabbi Saadia Gaon menerjemahkan demikian:

פטאף אברם פי אלבלד אלי מוצ'ע נאבלוס ואלי מרג' ממרה ואלכנעאני חיניד' כאן מקימא פי אלבלד

"fathafa Abram fi al-balad ila mawdhi'i Nablus wa ila marji mi-Moreh wa al-Kan'ani khinaidzin kana muqiman fi al-balad." (Abram berjalan melalui negeri itu sampai ke suatu tempat dekat Sikhem, yakni pohon terbantin di Moreh. Waktu itu orang Kanaan diam di negeri itu), see J. Derenbourg. Tafsir al-Tawrah bi Al-'Arabiyyah. Version Arabe du Pentateuque (Paris: Ernest Leroux, Editeur, 1893), p. 19

Bila dalam kitab Hadits, perbedaan teks merujuk pada perbedaan nama sang putera yang akan dijadikan qurban, justru dalam kitab Chumash (Torah she be bichtav), perbedaan teks merujuk pada perbedaan nama "maqam" atau lokasi atau nama tempat yang akan dijadikan qurban. Mengapa dalam konteks ini Bambang Noersena tidak berbicara secara fair? Bukankah perbedaan nama "maqam" atau nama lokasi tempat qurban lebih substansial utk diperdebatkan atau pun dikritisi dibanding perbedaan nama sang putera Abraham yang akan dijadikan qurban?

Perbedaan nama "maqam" tempat qurban Abraham justru menjadi pemicu dan menjadi sebab perbedaan qiblat sebagai arah sembahyang antara kaum Samaria dan kaum Yahudi, dan sekaligus menjadi penyebab perbedaan tempat pelaksanaan qurban sembelihan perayaan Paskah antara kaum Yahudi dan kaum Samaria. Bukankah mereka sama-sama merujuk pada kitab suci yang sama yakni kitab Torah? Bukankah konsekuensi perbedaan nama "maqam" ini lebih fatal dibanding perbedaan nama sang putera Abraham yang akan menjadi qurban?

Umat Islam sejak dulu hingga kini memiliki qiblat yang sama, berhaji di tempat yang sama, dan ber-qurban di hari yang sama, dan merujuk pada kitab suci Quran yang sama, meskipun dalam hadits ada penyebutan nama putera Abraham yang berbeda sebagai sang putera yang akan dijadikan qurban. Dengan demikian, hal ini semakin jelas. Umat Islam mentradisikan ibadah qurban di tempat yang sama meskipun nama putera Abraham yang di-qurban-kan disebutkan nama yang berbeda.

Sebaliknya, umat Israel mentradisikan ibadah qurban di tempat yang berbeda karena nama "maqam" tempat qurban Abraham disebutkan nama yang berbeda pula, meskipun nama putera Abraham yang di-qurban-kan itu disebutkan nama yang sama. Inilah fakta yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Bukankah kitab suci Chumash merupakan bagian dari kitab suci Perjanjian Lama (the Old Testament) bagi agama Kristiani? Mengapa perbedaan teks mengenai identitas nama lokasi atau nama tempat qurban Abraham antara kitab suci Perjanjian Lama dengan kitab suci Chumash (Torah Samaritan) tidak dibedah secara adil dalam pembahasannya kepada publik? Kejujuran merupakan modal intelektual yang niscaya sebagai seorang akademisi.

Ulasan Rabbi Bachya ben Asher dalam Tafsir-nya מדרש רבינו בחיי על חמשה חומשי תורה (Midrash Rabbenu Bachya 'al Chamisha Chumshe Torah) menjelaskan bahwa tatkala dijadikan qurban, Ishaq telah berusia 37 tahun, dan saat itu dia disebut sebagai הנער (ha-na'ar). Meskipun berdasarkan narasi teks midrash agada ditemukan adanya perbedaan usia tatkala Ishaq dijadikan qurban, tetapi Rabbi Bachya melalui proses selektif, justru lebih condong memilih teks midrash agada yang menjelaskan adanya penyebutan usia Ishaq tatkala dijadikan qurban oleh Abraham, yaitu usia 37 tahun, dibanding usia 5 tahun.

Rabbi Bachya dalam hal ini lebih condong pada nas yang termaktub dalam teks Midrash Bereshit Rabbah 56:11, dan Rabbi Bachya juga merujuk pada kitab tafsir tertua berbahasa Ibrani atas kitab Bereshit, ditulis oleh Rabbi Eliezer pada Abad ke-1, dan karyanya kemudian dikenal dengan judul Pirke Rabbi Eliezer. Silakan Anda memeriksa kitab Pirke Rabbi Eliezer pasal 31 (Yerushlayim: Eschol, hlm. קד).

בן שבע ושלשים שנה היה יצחק בלכתו אל הר המוריה

"Ben sheba' u-sheloshim shanah hayah Yitzhaq belachto el har ha-Moriyyah .... "

"Sang putera yakni Ishaq telah berusia 37 tahun tatkala dia pergi ke puncak gunung Moria ..."

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement