REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Badan Pelaksana Harian DSN MUI Prof Jaih Mubarok menyebut, ada lima elemen penjagaan yang harus diperhatikan saat mengajukan sertifikasi. Di antaranya, penjagaan agama (Hifz al-din) yang memiliki 33 standar dan 117 elemen penilaian, penjagaan jiwa (Hifz al-nafs) berisi 6 standar dan 20 elemen penilaian.
Penjagaan lainnya, yakni akal (Hifz al-'aql) dengan 6 standar dan 15 elemen penilaian, penjagaan ke turunan (Hifz al-nasl) dengan 2 standar dan 7 elemen penilaian, serta penjagaan harta (Hifz al-mal) yang memiliki 4 standar dan 14 elemen penilaian. "Standar dan penilaiannya ini disesuaikan dengan apa yang su dah dikeluarkan komisi fatwa MUI," kata dia.
"Misal, untuk mencuci antara pakaian kotor anak dan dewasa, kalau dicampur begitu saja bisa najis. Di komisi fatwa ada panduannya, nah ini harus dipraktikkan di rumah sakit syariah," ujar dia.
Dalam proses sertifikasi, ia pun menyebut, semua diawali dari MUKISI. Setelah MUKISI melakukan pendampingan dan penilaian awal, dilanjut dengan peninjauan kem bali antara MUKISI dan MUI, baru sertifikasi oleh MUI dan diakui.
Adapun masa berlaku sertifikat ini berjalan selama tiga tahun. Setiap tahun, dilakukan veri fikasi atau pengontrolan. Ketika terjadi pelanggaran, bisa saja sertifikatnya dicabut.
Jaih juga menyebut, adanya sertifikat ini untuk memastikan pelayanan yang diberikan kepada pasien utamanya pada rumah sakit Islam memang sudah sesuai syariah islami. "Termasuk di anta ra nya perihal asuransi dan pembiayaan atau banknya," ujarnya.
Untuk tetap menjamin kualitas rumah sakit, ada syarat dokumentatif yang harus dipenuhi oleh ru mah sakit sebelum mendapat sertifikat. Salah satunya telah mendapat akreditasi dari Komisi Akre ditasi Rumah Sakit (KARS).