REPUBLIKA.CO.ID, KUNINGAN – Pondok Pesantren Raudlotul Mubtadiien, Jagasara, Kuningan, Jawa Barat, menjadi saksi bisu perjalanan KH Abdul Halim Jagasara mensyiarkan Islam di Kabupaten Kuningan.
Pesantren ini adalah pesantren yang terakhir dibangun KH Abdul Halim Jagasara, setelah terlebih dulu dia membangun Pesantren Cihonje dan pesantren Sukasari di Kuningan.
Meski sebelumnya, KH Abdul Halim juga memimpin Pesantren Kabuyutan Kuningan sepeninggal KH Ikna pada 1910.
Pada 1925, KH Abdul Halim mendirikan Pesantren Raudlotul Mubtadiien atau lebih dikenal Pesantren Jagasara di kampung Jagasara Desa Cieurih, Kecamatan Cidahu, Kuningan. Sementara tiga pesantren sebelumnya diserahkan kepengurusannya pada putra-putranya.
Di pesantren inilah, KH Abdul Halim Jagasara lebih fokus mensyiarkan Islam. Santrinya berdatangan dari berbagai daerah. Bahkan pesantren itu juga menjadi tempat berkumpul para ulama Kuningan untuk bermusyawarah. Itu semua karena ketokohan KH Abdul Halim yang begitu disegani.
“Saat itu ada tiga kiai besar, KH Ishak Cihideung, KH Abdul Rojak dan KH Abdul Halim mereka berteman. Tapi Kiai Abdul Halim dijadikan sentral, kalau ada apa-apa pasti datangnya ke Kiai Abdul Halim,” kata KH Udi Mashudi, cucu dari KH Abdul Halim Jagasara saat berbincang dengan Republika,co.id, pekan lalu.
Tak hanya menjadi tempat mengaji para santri, pesantren Jagasara juga merupakan salah satu basis perlawanan kaum pribumi terhadap kolonial Belanda kala itu.
Dari 14 anak KH Abdul Halim, dua putranya yakni KH Ujang dan KH Ayub kerap diperintahkan KH Abdul Halim turun dan memimpin langsung pertempuran melawan Belanda yang saat itu berbasis di kota Kuningan. Pesantren ini juga menjadi tempat berlindung para ulama dari Cirebon dan Kuningan yang menjadi incaran Belanda.
KH Abdul Halim. Republika/ Andrian Saputra
Menurut Kiai Udi, Belanda sampai melepaskan meriam dari jarak jauh untuk menghancurkan bangunan pesantren yang menjadi basis perlawanan pribumi. Namun serangan itu tak berhasil.
Bom yang tembakan ke arah mushala Pesantren Jagasara tak meledak. Bom yang dijatuhkan Belanda itu pun masih ada. Bom itu kemudian di kubur di salah satu lokasi yang tak jauh dari pesantren. “Dikubur di bawah pohon, aneh tidak meledak saja,” katanya.
Pesantren Jagasara pun masih berdiri kokoh hingga saat ini. Pesantren ini kemudian di teruskan keturunan KH Abdul Halim. Meski jumlah santrinya tak lagi sebanyak saat masih dipimpin KH Abdul Halim.
KH Abdul Halim wafat pada 14 Jumadil Awal 1393 H atau pada 15 Juni 1973. Makamnya berada dilingkungan pesantren Jagasara atau di samping mushala pesantren.