REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- ''Setiap penyakit ada obatnya,'' begitu bunyi salah satu hadis Rasulullah SAW. Para dokter dan ilmuwan Muslim di era keemasan telah berupaya mencari dan menemukan beragam bentuk pengobatan. Yang menarik, dokter-dokter Muslim di zaman kejayaan peradaban Islam mampu menjadikan makanan sebagai obat.
Menurut Prof Nil Sari dalam tulisannya bertajuk Food as Medicine in Islamic Civilization, dokter Muslim seperti Ibnu Sina (980-1037 M) dan Ibnu al-Baitar telah berhasil menjadikan makanan sebagai obat. Avicena – begitu masyarakat Barat biasa menyubutnya -- pada abad ke-11 M sudah menulis manuskrip tentang diet dan makanan sebagai obat.
Sang dokter memasukan resep makanan yang berkhasiat sebagai obat itu dalam ilmu kedokteran. "Dalam salah satu risalahnya, Ibnu isna menetapkan enam aturan hidup sehat, salh satunya menyatakan bahwa makanan berfungsi obat , melalui diet seimbang," ungkap Prof Nil Sari, keepala Departemen Sejarah dan Etika Pengobatan dari Universitas Istanbul, Turki.
Para dokter Muslim di era keemasan telah menerapkan diet kepada para pasiennya. Makanan telah menjadi bagian terpenting dalam pengobatan, bukan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan nutrisi. "Mengatur pola makan merupakan hal yang sangat penting dalam ilmu pengobatan," papar Prof Nil Sari.
Ilmuwan dan dokter Muslim al-Razi juga menekankan pentingnya penyembuhan penyakit melalui pola makan. "Jika kamu dapat menyembuhkan seseorang dengan diet (mengatur pola makan), maka jangan menyarankan pengobatan," ujar Prof Nil Sari mengutip pernyataan al-Razi.
Pemikiran dan gagasan dari para dokter Muslim terdahulu mengenai fungsi makanan sebagai obat telah diterapkan masyarakat Muslim di era kekuasaan Kekhalifahan Usmani Turki. Menurut Prof Nil Sari, prinsip kesehatan dan nutrisi seimbang dalam pengobatan Turki Usmani didasarkan pada teori "unsur" dan "humours".