Ahad 18 Aug 2019 19:26 WIB

Bedah Buku 'Toedjoeh Kata' Digelar di Masjid Kauman Yogya

Toedjoeh Kata merekam sejarah peristiwa perumusan dasar negara Indonesia

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Hasanul Rizqa
 Bedah buku Toedjoeh Kata - Sebuah Ijtihad Konstitusi Siyasah  Kebangsaan Zelfbestuur 1016-1959 di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, Sabtu  (17/8).
Foto: Republika/Wahyu Suryana
Bedah buku Toedjoeh Kata - Sebuah Ijtihad Konstitusi Siyasah Kebangsaan Zelfbestuur 1016-1959 di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, Sabtu (17/8).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Dalam rangka memperingati hari Kemerdekaan Republik Indonesia, Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta menggelar bedah buku. Kali ini, pihak panitia membedah buku Toedjoeh Kata, karya kolaborasi Nunu A Hamijaya, Fathia Lestari dan Nunung Kaniawati.

Karya itu berjudul lengkap: Toedjoeh Kata - Sebuah Ijtihad Konstitusi Siyasah Kebangsaan Zelfbestuur 1916-1959. Di dalamnya, terungkap cukup banyak mengungkapkan fakta sejarah Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan serba-serbi seputar terbentuknya dasar negara Republik Indonesia.

Baca Juga

Para penulisnya mengulas tentang sila-sila yang ada di Pancasila. Tak hanya itu, Toedjoeh Kata mengungkapkan pergulatan para bapak pendiri bangsa. Tentunya, momen yang menjadi sorotan ialah ketika tokoh-tokoh nasionalis-Islam melalukan apa yang disebut pengorbanan besar: merelakan pencoretan tujuh kata yang awalnya terdapat pada Piagam Jakarta.

Untuk diketahui, pada awal abad ke-20 di antara para pendiri bangsa, muncul dua golongan yang mengemuka. Nasionalis-Islam dan nasionalis-sekuler. Masing-masing berbeda visi tentang dasar negara Indonesia.

Nasionalis-agama ingin agar syariat Islam diakomodasi dalam sistem ketatanegaraan. Nasionalis-sekular tidak ingin Indonesia menjadi negara agama karena, bagi mereka, idealnya urusan agama dan urusan negara dipisah.

Panitia Sembilan menjadi arena kompromi. Sukarno—yang cenderung pada nasionalis-sekuler—duduk sebagai ketuanya.

Pada 22 Juni 1945, Piagam Jakarta dihasilkan. “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” tercantum di sana. Ujaran setelah kata "Ketuhanan" itulah yang dimaksud dengan tujuh kata.

Namun, satu hari pascaproklamasi Indonesia, Piagam Jakarta menuai sorotan.

Ada utusan kelompok dari Indonesia timur yang “mengancam” akan memisahkan diri dari Indonesia bila frasa “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dipertahankan. Melalui Bung Hatta, lobi dilakukan.

Kelompok nasionalis-Islam, yang digawangi Ki Bagus Hadikusumo, akhirnya terbujuk. Satu bagian dari Piagam Jakarta tadi berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.”

***

Bedah buku di Masjid Kauman Yogya ini menghadirkan penulis Nunu A Hamijaya. Turut hadir pula pengarah produksi film pendek, yang juga berjudul Toedjoeh Kata, Dimas Widiarto. Selain itu, ada pula pengkaji sejarah Muhammadiyah Muhammad Ikhsan dan cucu Ki Bagus Hadikusumo, Gunawan Budiyanto.

photo
Poster acara bedah buku

Nunu A Hamijaya mengungkapkan, tokoh-tokoh seperti Ki Bagus Hadikusumo patut dipandang sebagai "pendekar penegakan syariah di Indonesia."

Ia merasa, semangat itu merupakan warisan guru beliau, yang tidak lain adalah sang pendiri Persyarikatan Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.

"Buku setebal 500 halaman ini memang membicarakan keyakinan Ki Bagus Hadikusumo, dan itu bukan tiba-tiba, tapi proses panjang," kata Nunu di Masjid Gedhe Kauman, Sabtu (17/8).

Selain itu, ia menilai, Ki Bagus Hadikusumo banyak dipengaruhi HOS Tjokroaminoto, sang "Raja Jawa Tanpa Mahkota" yang juga pemimpin Sarekat Islam. Menurut Nunu, Ki Bagus sangat terkesan dengan pidato HOS Tjokroaminoto pada 18 Juni 1916 yang menyuarakan tentang kehendak pribumi memiliki pemerintahan sendiri.

 

Bukan Radikalisme

Nunu menegaskan, generasi zaman sekarang perlu mempelajari sejarah dengan utuh. Sebagai contoh, kehendak menjadikan Islam sebagai dasar negara bukanlah sesuatu yang radikal. Para tokoh bangsa, khususnya dari kalangan nasionalis-Islam, telah membuktikannya. Mereka berkiprah besar dalam terwujudnya Kemerdekaan Indonesia.

Malahan, untuk menyebut satu nama, bisa diambil contoh Mohammad Natsir. Berkat Mosi Intergral Natsir pada 3 April 1950, NKRI dapat kukuh berdiri.

Karenanya, Nunu mengaku heran jika kehendak menjadikan Islam sebagai dasar negara memunculkan suatu Islamofobia, bahkan di tengah masyarakat Islam itu sendiri.

"Itu ingatan kolektif dari generasi ke generasi. Jangan memojokkan gagasan Islam bernegara atau Islam sebagai dasar negara," kata Nunu.

Karena itu, Nunu mengaku gembira dan bersyukur dengan hadirnya karya buku dan film Toedjoeh Kata. Sebab, ada ingatan kolektif yang perlu terus dipelihara. Khususnya tentang bagaimana pergulatan para bapak bangsa dalam merumuskan dasar negara Indonesia.

"Tidak cuma dibukukan. Tapi, ditunjang film yang menginspirasi menulis buku Toedjoeh Kata," sebut dia.

Buku Toedjoeh Kata diterbitkan Pusat Kajian Pembangunan Karakter (Pusbangster) sejak 2019. Buku ini dibuka dengan kata pengantar oleh Al Chaidar AR Puteh dan wawancara eksklusif dengan Alvan Viktori.

Pada sampul buku tersebut, juga menampilkan testimoni-testimoni. Mulai dari Moeflich H Hart--penulis salah satu 10 buku terbaik Islamic Book Fair 2018--dan dosen Ilmu Sejarah UIN Sunan Gunung Djati, Asep Ahmad Hidayat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement