Sabtu 17 Aug 2019 18:18 WIB

HUT Ke-74 RI, Ini Arti Kemerdekaan Menurut Ustaz Abdul Somad

Memperingati HUT RI, Ustaz Abdul Somad bicara soal makna kemerdekaan

Ustaz Abdul Somad
Foto: dok. ist
Ustaz Abdul Somad

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dahulu, para pahlawan bangsa memekikkan seruan "Merdeka atau Mati" untuk memompa semangat perjuangan. Mayoritas mereka adalah Muslim sehingga wajar bila kumandang takbir, "Allahu Akbar!" mengiringi perlawanan terhadap penjajahan.

Hal itu disampaikan Ustaz Abdul Somad. Dia menambahkan, generasi kini dan mendatang hendaknya tidak melupakan jasa-jasa para pahlawan. Sebab, mereka telah tulus-ikhlas berjuang memerdekakan negeri ini.

Baca Juga

Khususnya bagi umat Islam, dai kelahiran Asahan, Sumatra Utara, itu berpesan agar mereka tak mengabaikan sejarah. Peran kaum Muslimin dalam membebaskan dan mempertahankan negeri ini begitu besar. Oleh karena itu, dia mengimbau jangan sampai ada upaya-upaya mempertentangkan antara Islam dan kebangsaan.

"Karena, kiai dan pesantren adalah tonggak utama pejuang kemerdekaan bangsa," kata Ustaz Abdul Somad (UAS) saat berbincang dengan Republika.co.id, Sabtu (17/8).

Usaha merawat Indonesia pun tidak boleh berhenti. UAS mengajak tiap warga bangsa untuk bersatu-padu menghadapi pelbagai tantangan zaman.

Meskipun kolonialisme Belanda sudah pergi, kemerdekaan masih patut diperjuangkan. UAS menyebut, kemerdekaan yang sejati dapat dimaknai dari berbagai sisi.

Dari segi ekologis, misalnya, kemerdekaan berarti rakyat dapat menikmati hasil alam yang tumbuh dari Bumi Pertiwi untuk kemakmuran dalam bingkai kebangsaan.

Bila kekayaan alam Indonesia dikeruk tak terkendali dan hasilnya lebih banyak dinikmati bangsa-bangsa asing, itu berarti kemerdekaan belum mewujud sepenuhnya bagi rakyat Indonesia.

Karena itu, UAS berharap agar Indonesia kian maju. Tolok ukur kemajuan tidak hanya berdasarkan kekayaan sumber daya alam (SDA) yang dimiliki suatu negara, tetapi juga sumber daya manusia (SDM).

"Merdeka itu ketika kebesaran wilayah bangsa kita disertai kebesaran aura dan berdaulat sehingga disegani bangsa-bangsa lain," tutur UAS.

Dari segi sosial-ekonomi, makna kemerdekaan tidak lain adalah keadilan dan ketenteraman. Negara harus mampu menjamin hak-hak rakyat secara adil dan merata. Termasuk dalam hal ini adalah pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan, dan lain-lain. Semua itu bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa.

"Merdeka adalah ketika anak sekolah tidak murung saat awal tahun ajaran baru karena uang daftar ulang yang melambung tinggi, SPP (sumbangan pembinaan pendidikan --Red), dan uang ujian serta iuran-iuran lainnya," ujar dia.

"Merdeka adalah ketika sarjana cum laude tidak perlu antre 300 meter hanya untuk menjadi driver transportasi online. Merdeka adalah ketika siswa madrasah dan pesantren mendapat kesempatan yang sama atau bahkan lebih untuk maju. Merdeka adalah ketika alumnus perguruan tinggi Islam dapat peluang yang sama dengan sahabat-sahabat mereka, baik dalam hal beasiswa maupun kesempatan kerja," sambung UAS.

Dari segi hubungan antarbangsa, lanjut mubaligh tersebut, kemerdekaan tidak hanya soal mempertahankan kedaulatan, tetapi juga berkiprah sebesar-besarnya demi perdamaian dunia. Pesan ini termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

Sebagai contoh, terkait isu Palestina. Seperti diketahui, negara tersebut belum jua menikmati kemerdekaan dari kolonialisme (Israel). Untuk itu, menurut UAS, Indonesia perlu terus menyuarakan perjuangan Palestina. Hal ini pun didorong semangat Pembukaan UUD 1945: "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

"Kalau dahulu mufti Palestina memberi support kemerdekaan untuk Indonesia, maka budi baik itu mesti berbalas. Karena, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Begitu pesan para pejuang kita," jelas alumnus S-2 Darul Hadits (Maroko) itu.

Pada intinya, UAS menegaskan, kemerdekaan tak boleh berhenti pada sekadar kata-kata. Tindakan untuk mencapainya mesti terus diupayakan bersama.

"Lebih aplikatif, bukan sekadar normatif. Ketika kita anak-anak bangsa melantunkan, 'Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya', itu agar sungguh-sungguh dihayati," tukas peraih anugerah Tokoh Perubahan Republika 2017 itu menutup pembicaraan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement