REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suatu saat, Khalifah Umar berjalan di Kota Madinah. Ia melihat seorang anak kecil yang sedang mempermainkan seekor burung. Umar muncul iba melihat si burung, lalu membelinya dan melepaskannya ke angkasa. Maka, ketika Umar wafat, salah seorang dari para ulama terkenal melihat Umar dalam mimpi.
''Apa kabar, Umar?'' tanya sang ulama. ''Apa yang telah dilakukan Allah atasmu?''
''Allah telah mengampuniku dan melewatkan (tidak dicatat) segala dosaku.''
''Apa sebab? Sebab kedermawananmu? Keadilanmu? Atau, karena zuhudmu yang membuatmu acuh tak acuh terhadap dunia?''
Umar menggelengkan kepala. ''Ketika kalian menguburkanku, menutupiku dengan tanah, dan meninggalkanku sendiri, datang dua malaikat yang menakutiku. Akalku hilang, gemetar sendi-sendi tulangku.
Dua malaikat itu mengambilku dan mendudukkanku dan hendak menanyaiku. Tapi, tiba-tiba, muncul suara tanpa sosok yang menghardik keduanya.
''Tinggalkan hamba-Ku ini. Jangan kalian takut-takuti. Aku menyayanginya dan segala dosanya telah kuampuni karena dia telah menyayangi seekor burung pipit di dunia. Pahalanya, Kusayangi dia di akhirat.''
Kisah inilah yang tampaknya mengilhami Syekh Muhammad bin Abu Bakar al-Ushfuri untuk menamakan kitabnya ini dengan nama Mawa'izh al-Ushfuriyyah (Pelajaran dari Burung Pipit).