REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Naluri dan dambaan akan sesuatu yang ideal-material (harta dan kesenangan) adalah wajar. Bahkan, dianjurkan oleh ajaran Islam sepanjang harta dan kesenangan itu diperoleh dengan cara halal, digunakan sebagai sarana dan prasarana yang bermanfaat, dan sesuai tuntunan syariat.
Tuntutan itu tak dimaksudkan untuk melarang manusia mencintai harta dan kesenangan. Melainkan untuk mencegah pengingkaran akan ketauhidan kepada Allah SWT sebagai pemilik alam semesta.
Mengapa? Karena kecintaan kepada harta dan kesenangan terkadang berubah wujud menjadi anarki kepemilikan. Ketertarikan akan harta dan kesenangan berlangsung hanya sebentar sebagai akibat hasrat kepemilikan yang tak pernah puas.
Ada beberapa hal yang dapat dijelaskan dalam hubungan ini. Pertama, unsur depersonalisasi dalam hubungan pemilik dan hartanya.
Harta dan kesenangan bukan lagi objek konkret yang disenangi pemilik, tapi sudah menjadi lambang status, suatu perluasan kekuasaan pembentuk ego. Setelah mendapatkannya, pemilik telah mendapatkan sepotong ego baru.
Kedua, memiliki harta atau kesenangan baru, akan menambah nafsu kepemilikan. Demikian cermin hubungan masyarakat modern, semuanya diukur oleh rasa kepemilikan materi semata. Dus, yang muncul kemudian adalah sebuah hubungan yang selalu ingin menguasai antarsesama.
Meningkatnya konflik kejiwaan secara personal, lalu berimbas pada tatanan masyarakat dengan soliditas yang minimalis dan miskin nilai.
Dalam Islam, harta haruslah difungsikan untuk kemaslahatan diri dan masyarakat. Karenanya, harta memiliki fungsi individual dan sosial sebagai manifestasi keimanan dan ketauhidan seseorang.
Tauhid sebagai bentuk kepercayaan, berarti tak hanya dipahami sebatas penegasan keesaan Allah SWT. Artinya, tak adanya pemisahan antara spiritualitas dan keduniawian, seluruh aspek sosial diintegrasikan dalam satu wadah keesaan Allah SWT.
Untuk mengintegrasikan aspek-aspek itu, Alquran telah sangat jelas dan tegas memberikan batasan penggunaan harta, seperti larangan riba, ikhtikar, gharar, berlebih-lebihan (israf-itraf) dan penimbunan.
Dengan penekanan fungsi sosial dan pembatasan itu, naluri kerakusan manusia pada harta akan terkendali, sehingga manusia tidak bertindak melampaui batas yang bisa menjerumuskannya.
''Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.'' (QS Ali Imran [3]: 14). n