REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hasan Basri Tanjung
Setiap kali Hari Raya Idul Adha tiba, kita selalu diajak meneladan sosok pemimpin sejati yang dikenang se panjang sejarah peradaban umat manusia. Selain diaba dikan menjadi nama surah dalam Alquran, juga namanya disandingkan dengan Baginda Nabi Muhammad SAW dalam shalawat. Dialah Nabiyullah Ibrahim AS (QS 16:120, 60:6).
Prof Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar mengurai serpihan kisah ayah teladan bergelar khalilullah (kekasih Allah) itu. Sebuah cerita tentang pertarungan dua cinta, yakni cinta seorang hamba kepada Tuhannya dan cinta ayah kepada anaknya. Kisah cinta dilematis ini diabadikan dengan indah dalam Alquran untuk menyirami hati yang diliputi kerinduan. Ketika usianya menginjak 86 tahun, naluri kebapakan pun mulai risau. Dalam penantian yang panjang, kehadiran seorang pelipur lara belum juga tiba. Dalam setiap munajat, ia selalu berdoa, "Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh," (QS 37:100).
Istrinya, Siti Sarah pun menyarankan agar ia menikah dengan sahayanya, Siti Hajar. Tak lama berselang, Allah SWT mengijabah doanya dengan kelahiran Ismail (QS 4:39, 37:101). Kisah pertarungan dua cinta pun dimulai ketika si buah ha ti beranjak remaja. Ketika sang ayah sedang diliputi ke rin duan kepada anak yang dicintai, justru diperintahkan untuk me nyem belihnya. Tentu saja timbul kekhawatiran mendalam. Apa kah menuruti perintah Allah SWT atau memilih belaian hati?
Sang ayah pun mengajak anaknya keluar rumah untuk mengungkapkan kegundahan hati. Dengan bahasa yang santun, ia menyapa. "Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu." Dia (Ismail) menjawab, "Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar," (QS 37:102).
Nabi Ibrahim AS memilih cinta kepada Allah SWT dengan tanpa mengabaikan cinta kepada anaknya. Kecintaan yang tulus kepada-Nya tidak berarti mengabaikan cinta kepada selain-Nya. Tetapi cinta kepada selain-Nya akan membuat cinta kepada Allah SWT menjadi hampa. Hakikatnya, semua ini adalah ujian, apakah kita lebih mencintai Allah SWT atau dunia dengan segala kenikmatannya (QS 9:24).
Menyimak kisah nan haru ini, mengingatkan saya akan kejadian sekitar 21 tahun lalu, ketika hendak menunaikan ibadah haji. Saat itu, anak pertama Difa Mahya masih berumur delapan tahun. Betapa beratnya hati, terutama ibunya untuk meninggalkan anak sekecil itu. Hatta, seorang jamaah mengingatkan, "Ustaz, kau hanya disuruh memenuhi panggilan Baitullah selama 40 hari. Sementara, Nabi Ibrahim AS diperintah untuk menyembelih anaknya." Nasihat itu sangat membekas dalam hati dan selalu diceritakan kepada calon jamaah haji yang mengalami hal yang serupa.
Prof KH Didin Hafidhuddin mengingatkan bahwa Nabi Ibra him AS memberi pelajaran akan pentingnya pendidikan Islami dalam keluarga, yakni mengedepankan kasih sayang, cinta, tanggung jawab, saling menghargai, dan musyawarah. Ketika anak terdidik dengan baik (akidah, ibadah, dan akhlak karimah), ia akan taat dan berbakti kepada kedua orang tuanya (Republika, 4/8/2019).
Pertarungan cinta sejati seorang ayah seperti Ibrahim AS akan selalu hadir dalam kehidupan keluarga kita. Jika pandai memaknai hakikat cinta, insya Allah akan lahir kembali 'Ismail-Ismail' generasi milenial yang dicintai dan mencintai Allah SWT juga orang tuanya. Allahua'lam bish-shawab.