REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Bila awalnya sistem pengajaran disampaikan melalui lisan Rasulullah, pada masa kekhalifahan Islam (pasca-khulafaurrasyidin) mulai dikenal sistem tulis menulis.
Sejarawan Barat AS Tritton mengungkapkan, Imam Malik dan Imam Abu Hanifah dalam mengajar selalu mengutip teks yang tertera dalam buku, kemudian mengulang kalimat dalam buku tersebut hingga kalimat tersebut masuk ke dalam ingatan para muridnya.
Teknik hafalan ini tidak hanya diterapkan kepada para peserta didik, namun juga kepada para pengajar. Z Sardar dan MW Davies menuturkan bahwa al-Bawardi, seorang ahli bahasa yang hidup pada abad ke-15 M, telah mendiktekan kepada murid-muridnya sekitar 30 ribu halaman mengenai topik bahasa yang dihafalnya.
Hal yang sama juga dilakukan oleh al-Tabari, seorang ahli tafsir dan sejarah. Sementara sarjana asal Mesir, Jalal al-Din al-Suyuti, telah mendiktekan sekitar 600 buku kepada para muridnya.
Teknik menghafal ini, menurut Z Sardar dan MW Davies, kemungkinan besar berasal dari tradisi masyarakat Arab yang lebih menyukai melakukan komunikasi secara lisan. Terlebih lagi sebelum datangnya Islam, mayoritas suku di Arab buta huruf sehingga mereka tidak bisa membaca dan menulis.
Sementara itu, untuk kurikulum pendidikan juga berkembang. Dari awalnya hanya tentang Alquran dan hadis Nabi, akhirnya berkembang dengan berbagai bidang lainnya. Seperti, teknik, berhitung, sistem perdagangan (ekonomi), hingga pendidikan akhlak.