REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR— Membedakan ayat Alquran dalam kategori teologis dan sosiologis secara tepat merupakan salah satu upaya untuk menekan perselisihan umat beragama.
Pernyataan tersebut disampaikan Kepala Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi (LKKMO) Kementerian Agama Muhammad Zain.
Zain saat berada di Ciawi, Bogor, Rabu (7/8) mengatakan surah al-Baqarah ayat 120, misalnya. Menurut dia, sebaiknya tidak dimaknai secara teologis, tetapi secara sosiologis.
Teologis adalah hal-hal yang sifatnya mengenai sifat Allah, dasar kepercayaan kepada Allah dan agama, terutama berdasar pada kitab suci. Sementara sosiologis itu sifatnya tentang hubungan sesama manusia, proses sosial dan perubahannya.
"Sangat berbahaya jika tidak dipahami dengan konteks masyarakat Indonesia yang plural," kata dia merujuk terjemahan al-Baqarah 120 yang berbunyi "Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu hingga kamu mengikuti jalan mereka."
Jika dipahami secara teologis, kata dia, umat Islam akan didorong untuk tidak bekerja sama sama sekali dengan kalangan selain Muslim. Jika dimaknai seperti itu maka hubungan antarumat beragama tidak akan terwujud di negara plural.
Dia mengatakan al-Baqarah ayat 120 itu merupakan ayat sosiologis dengan konteks turunnya ayat itu di Madinah guna menjelaskan bahwa pusat ekonomi dan kekuasaan zaman Rasulullah SAW dikuasai kalangan Yahudi dan Nasrani.
Selanjutnya, kata dia, Islam sebagai agama baru masuk ke Madinah dan dalam waktu singkat kalangan Muslim mendominasi banyak sektor dengan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin tertinggi.
"Maka pantas Yahudi dan Nasrani cemburu kepada Islam sehingga turun al-Baqarah Ayat 120. Itu ayat sosiologis, bukan ayat teologis. Kalau ini ayat teologis kita bisa perang terus dengan Yahudi dan Nasrani," kata dia.
Kerukunan antar Umat Beragama. (ilustrasi)
Sementara itu, Zain mengatakan dalam beberapa hal terdapat ayat Alquran yang sifatnya teologis dan fundamental, seperti untuk persoalan akidah seperti dalam surah al-Kafirun ayat 6 yang tertulis bagimu agamamu, bagiku agamaku.
Adapun makna dari ayat itu, kata dia, adalah umat Islam memiliki batasan-batasan dalam beribadah dengan tidak menjalankan ibadah agama lain karena sudah memiliki ajaran yang sudah digariskan syariah. Tidak boleh ada tawar menawar dalam persoalan akidah.
"Artinya umat Islam harus tegas dalam hal akidah terhadap orang kafir. Maka tidak boleh umat Islam tawar menawar dalam hal akidah. 'Lakum diinukum wa liyadiin' ini jangan dipakai menjadi sosiologis," katanya.