REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Umat Islam Indonesia kehilangan salah seorang tokoh nasional. Ulama sepuh kharismatik, KH Maimoen Zubair atau yang akrab disapa Mbah Moen, wafat di Tanah Suci, Makkah, hari ini.
Kabar duka ini dibenarkan Wasekjen DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Achmad Baidowi. Menurut Baidlowi, keluarga besar PPP merasa kehilangan sosok ulama asal Rembang itu.
"Ya betul. Kami dapat info duka dari yang dampingi beliau selama di Makkah. Kami sangat kehilangan beliau," ujar Baidlowi saat dihubungi wartawan, Selasa (6/8).
Baidowi mengingat, dirinya dan sejumlah kolega masih sempat bersilaturrahim kepada Mbah Moen dua hari lalu. Menurut Baodowi, saat itu Mbah Moen masih dalam keadaan sehat. "Dua hari lalu saya masih sempat sowan ke beliau dan masih sehat wa alfiyat. Kami sangat kehilangan. Sekarang kami lagi perjalanan ke RS (rumah sakit)," ucapnya.
Profil Mbah Moen
Mbah Moen tercatat sebagai seorang ulama dan politikus nasional. Dia merupakan pimpinan Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang. Di ranah politik, dia menjabat sebagai Ketua Majlis Syariah PPP.
Kiprah politik Mbah Moen bukan tentang kepentingan sesaat, melainkan kontribusi untuk mendialogkan Islam dan kebangsaan.
Mbah Moen juga merupakan seorang alim, fakih, sekaligus muharrik (penggerak) yang menjadi rujukan dalam bidang fikih. Mbah Moen merupakan kawan dekat dari almarhum Rais Aam PBNU, KH Sahal Mahfudh. Keduanya dahulu sama-sama santri kelana di sejumlah pesantren di Jawa. Dia juga sempat mendalami ilmu-ilmu agama di tanah Hijaz (Arab Saudi).
Mbah Moen lahir di Sarang, Rembang, Jawa Tengah, pada 28 Oktober 1928. Dia merupakan putra Kiai Zubair yang pernah berguru pada Syaikh Saíd al-Yamani serta Syaikh Hasan al-Yamani al-Makky.
Mbah Moen mengaji di Pesantren Lirboyo, Kediri, di bawah bimbingan KH Abdul Karim. Selama di Lirboyo, ia juga mengaji kepada KH Mahrus Ali. Pada umur 21 tahun, Mbah Moen melanjutkan studi ke Makkah.
Mbah Moen juga meluangkan waktunya untuk mengaji ke beberapa ulama di Jawa, di antaranya Kiai Baidhowi, KH Ma'shum Lasem, KH Wahab Chasbullah, KH Muslih Mranggen (Demak), dan beberapa kiai lain. Mbah Moen juga menulis kitab-kitab yang menjadi rujukan santri. Di antaranya, kitab berjudul al-Ulama al-Mujaddidun.