REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: KH A Hasyim Muzadi (1944-2017)
Syahdan, seseorang mendatangi majelis pengajian Rabi’ah al-Adawiyah. Kepada seorang perempuan sufi terbesar dalam sejarah itu, ia membuat testimoni seputar kehidupannya.
Ia mengakui betapa dirinya sudah terlalu jauh meninggalkan Allah SWT. Sudah tak terhitung lagi dosa yang dia perbuat, baik yang besar maupun kecil.
Maka dari itu, dia mencoba mengukur ragam-ragam kesalahannya. Di ujung kelelahan pengembaraannya itu, ia merasakan, alih-alih kesadaran positif yang muncul, justru dirinya merasa kian jauh dari jalan yang lurus.
Kemudian, dia bertanya, "Apakah kalau pada akhirnya aku bertobat, Allah SWT akan mengampuni?"
"Tidak," jawab Rabi’ah.
Si penanya pun tercekat. Bagaikan palu godam menerjang dadanya.
"Namun, apabila Dia mengampunimu, maka engkau akan bertobat," kata Rabi’ah lagi.
***
Jawaban Rabi’ah ini sungguh membuat nurani siapa saja akan bergetar. Jawaban itu merombak seluruh sendi kesadaran kita tentang pertobatan dan pengampunan.
Selama ini, kita selalu menutup pintu. Ada semacam pemaknaan tunggal atas pertobatan dan pengampunan.
Biasanya, kita beranggapan bahwa kalau kita bertobat atas dosa-dosa, kemudian Allah SWT akan serta-merta mengampuni kita.
Padahal, menurut perspektif Rabi’ah, seseorang memerlukan kualifikasi tertentu untuk bisa melakukan pertobatan sehingga memeroleh pengampunan.
Dalam pandangan Rabi’ah, pertobatan datang setelah turunnya pengampunan. Bukan sebaliknya.
Jadi, kalau Allah SWT telah mengampuni kita, demikian menurut Rabi’ah, maka kita akan dianugerahi kesempatan untuk menyampaikan pengakuan dosa dalam bentuk pertobatan kepada Allah SWT.
Maknanya pula, pertobatan yang tulus baru akan muncul setelah kita mendapatkan pengampunan dari Allah SWT. Karena itu, dunia eskatologi Islam nyaris pada satu kata tentang maqam tobat.
Tobat berada pada maqam (level) paling awal bagi mereka yang ingin pulang kembali kepada Tuhannya. Kalau maqam ini didapat, seseorang bertobat bukan lagi atas dosa yang dilakukan, melainkan atas kelalaian dan kealpaan yang membuat pengabdiannya kepada Allah SWT terganggu.
Innallaaha yuhibbut tawwaabinna wa yuhibul mutathohhirin. "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri." (QS al-Baqarah [2]:222]).
"Orang yang bertobat dari dosa seperti orang yang tidak berdosa" (HR Ibnu Hibban).
Begitulah seharusnya kita menikmati pertobatan sebagai sebuah jalan pulang terbaik bagi kita kepada Allah SWT.