REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Fatwa yang diterbitkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalu proses yang cukup ketat dan berjenjang. Dalam konsepsi Islam itu sendiri, fatwa lahir karena jawaban atas persoalan yang dihadapi masyarakat. Kendati sebagiannya terkadang memunculkan pro dan kontra. Bagaimana proses fatwa MUI dikeluarkan?
Wakil Sekretaris Jenderal (Sekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, KH Salahuddin Al Ayyubi, menjelaskan proses perumusan fatwa. Untuk menghasilkan fatwa, MUI mempunyai berbagai macam forum untuk menjawab persoalan yang ada di kalangan masyarakat. Di antaranya adalah ijtima ulama yang digelar sekali dalam tiga tahun.
Dia menjelaskan, forum tersebut tidak hanya melibatkan ulama di Komisi Fatwa MUI, tetapi mengundang kalangan akademisi dari perguruan tinggi agama Islam seluruh Indonesia dan perwakilan pesantren untuk membahas itu.
Biasanya, kata dia, forum ijtima ulama ini hanya berlangsung tiga hari untuk membahas berbagai permasalahan yang sudah disiapkan. Sebelum ijtima, memang materinya sudah dirumuskan dan disiapkan Komisi Fatwa, tetapi saat ijtima ada dinamika pembahasan.
“Nah waktu rumusannya memang biasanya kurang memadai. Karena itu, kita di internal MUI menyebut (hasil ijtima ulama) itu sebagai hasil muzakarah, bukan fatwa," kata dia kepada Republika.co.id di Jakarta, Senin (29/7).
Dalam buku yang berisi kumpulan fatwa MUI, papar Salahuddin, terdapat fatwa dan hasil ijtima ulama. Biasanya jika hasil ijtima ulama ini dianggap penting, akan difatwakan ulang alias diratifikasi. Misalnya terkait bunga bank yang sebetulnya adalah hasil ijtima ulama pada 2003.
Salahuddin mengatakan, MUI menganggap persoalan bunga bank itu penting sehingga hasil ijtima tersebut diperkuat menjadi fatwa MUI nomor 1 tahun 2014 tentang bunga bank.
"Kemudian kita menyosialisasikan pentingnya aspek-aspek yang difatwakan itu agar diserap ke dalam peraturan perundangan yang ada. Kita sosialisasikan tak hanya kepada masyarakat tapi juga kepada penentu kebijakan. Biasanya seperti itu," tutur dia.
Dalam kondisi demikian, MUI melakukan pendekatan kepada berbagai kalangan termasuk juga pengambil kebijakan agar fatwa MUI itu mendapat perhatian.
"Di situlah kita diskusi kemudian melakukan kerja bareng antara MUI dan timnya dan mereka juga ada timnya, membahas sejauh mana kemungkinan ini diserap ke dalam peraturan perundang-undangan," ujar dia.
Buku-buku fatwa (ilustrasi).
Salahuddin menambahkan, ada beberapa kebijakan yang memang berdasarkan Undang-undang sudah memberikan mandat untuk melibatkan MUI. Salah satunya peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang ekonomi syariah.
MUI ikut terlibat dalam penyusunan peraturan OJK ini. "Tetapi juga yang memang butuh perjalanan panjang agar fatwa MUI bisa diserap ke dalam peraturan perundang-undangan," katanya.
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar konferensi internasional tahunan tentang studi fatwa di Depok, Jumat (26/7). Dalam forum ini, salah satu pemateri, Marwadi M.Ag, yang merupakan akademisi dari IAIN Purwokerto menilai, setelah MUI mengeluarkan fatwa, tidak seluruh masyarakat menerimanya sehingga menjadi kontroversi.
Selain karena objek fatwanya memang sudah menjadi kontroversi, keterpahaman masyarakat terhadap isi menyeluruh fatwa juga menjadi faktor yang memicu kontroversi.
Salah satu contohnya, soal fatwa BPJS. Beberapa tahun yang lalu, MUI mengeluarkan fatwa bahwa BPJS tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam.
Jika dicermati, paparnya, hanya beberapa aspek dalam BPJS yang tidak sesuai dengan syariat menurut MUI. Fatwa MUI itu pun memberi rekomendasi agar pemerintah melakukan pembenahan terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan syariat. "Dan ditawarkan (dalam fatwa itu), bahwa selama belum ada BPJS yang sesuai dengan prinsip syariah, ya dipersilakan menggunakannya," tuturnya.
Marwadi berharap, MUI dapat lebih menyosialisasikan fatwa-fatwanya secara komprehensif kepada masyarakat luas supaya tidak menimbulkan pandangan yang keliru saat fatwa dikeluarkan. Dengan begitu masyarakat Muslim tidak keliru dalam menindaklanjuti fatwa tersebut.
"Karena kurang sosialisasi secara luas, kemudian begitu fatwa BPJS keluar, seolah-olah ada larangan untuk menggunakan BPJS sehingga ini yang harus segera dilakukan (tidak memakai BPJS), padahal kan tidak," kata dia.